Peluang Bisnis untuk Anda

Tuesday, March 10, 2009

Batu Menangis: cerita daerah Kalimantan Barat

Diceritakan kembali oleh Renny Yaniar

Di sebuah desa terpencil, tinggallah seorang gadis dan ibunya. Gadis itu cantik. Sayang, dia sangat malas. Ia sama sekali tak mau membantu ibunya mencari nafkah. Setiap hari gadis itu hanya berdandan. Setiap hari, ia mengagumi kecantikannya di cermin. Selain malas, gadis itu juga manja. Apa pun yang dimintanya, harus dikabulkan. Tentu saja keadaan ini membuat ibunya sangat sedih.

Suatu hari Ibunya meminta anak gadisnya menemaninya ke pasar. “Boleh saja, tapi aku tak mau berjalan bersama-sama dengan Ibu. Ibu harus berjalan di belakangku,” katanya. Walaupun sedih, ibunya mengiyakan. Maka berjalanlah mereka berdua menuruni bukit beriringan. Sang gadis berjalan di depan, sang ibu berjalan di belakang sambil membawa keranjang.

Walaupun mereka ibu dan anak, mereka kelihatan berbeda. Seolah-olah mereka bukan berasal dari keluarga yang sama. Bagaimana tidak? Anaknya yang cantik berpakaian sangat bagus. Sedang ibunya kelihatan tua dan berpakaian sangat sederhana.

Di perjalanan, ada orang menyapa mereka. “Hai gadis cantik, apakah orang yang di belakangmu ibumu?” tanya orang itu. “Tentu saja bukan. Dia adalah pembantuku,” kata gadis itu. Betapa sedihnya ibunya mendengarnya. Tapi dia hanya diam. Hatinya menangis. Begitulah terus menerus. Setiap ada orang yang menyapa dan menanyakan siapa wanita tua yang bersamanya, si gadis selalu menjawab itu pembantunya.

Lama-lama sang ibu sakit hatinya. Ia pun berdoa . “Ya, Tuhan, hukumlah anak yang tak tahu berterima kasih ini,” katanya. Doa ibu itu pun didengarnya. Pelan-pelan, kaki gadis itu berubah menjadi batu. Perubahan itu terjadi dari kaki ke atas. “Ibu, ibu! Ampuni saya. Ampuni saya!” serunya panik. Gadis itu terus menangis dan menangis. Namun semuanya terlambat. Seluruh tubuhnya akhirnya menjadi batu. Walaupun begitu, orang masih bisa melihatnya menitikkan air mata. Karenanya batu itu diberi nama “Batu Menangis”

Sumber: http://www.geocities.com/kesumawijaya/ceritarakyat/kalbar1.html


Talaga Warna: cerita daerah Jawa Barat

Diceritakan kembali oleh Renny Yaniar

Zaman dahulu, ada sebuah kerajaan di Jawa Barat. Negeri itu dipimpin oleh seorang raja. Prabu, begitulah orang memanggilnya. Ia adalah raja yang baik dan bijaksana. Tak heran, kalau negeri itu makmur dan tenteram. Tak ada penduduk yang lapar di negeri itu.

Semua sangat menyenangkan. Sayangnya, Prabu dan istrinya belum memiliki anak. Itu membuat pasangan kerajaan itu sangat sedih. Penasehat Prabu menyarankan, agar mereka mengangkat anak. Namun Prabu dan Ratu tidak setuju. "Buat kami, anak kandung adalah lebih baik dari pada anak angkat," sahut mereka.

Anak itu tumbuh menjadi orang dewasa yang tinggi besar. Karena itu ia dipanggil dengan nama Kebo Iwa, yang artinya paman kerbau.

Ratu sering murung dan menangis. Prabu pun ikut sedih melihat istrinya.. Lalu Prabu pergi ke hutan untuk bertapa. Di sana sang Prabu terus berdoa, agar dikaruniai anak. Beberapa bulan kemudian, keinginan mereka terkabul. Ratu pun mulai hamil. Seluruh rakyat di kerajaan itu senang sekali. Mereka membanjiri istana dengan hadiah.

Sembilan bulan kemudian, Ratu melahirkan seorang putri. Penduduk negeri pun kembali mengirimi putri kecil itu aneka hadiah. Bayi itu tumbuh menjadi anak yang lucu. Belasan tahun kemudian, ia sudah menjadi remaja yang cantik.

Kebo Iwa memang serba besar. Jangkauan kakinya sangat lebar, sehingga ia dapat bepergian dengan cepat. Kalau ia ingin minum, Kebo Iwa tinggal menusukkan telunjuknya ke tanah. Sehingga terjadilah sumur kecil yang mengeluarkan air.

Prabu dan Ratu sangat menyayangi putrinya. Mereka memberi putrinya apa pun yang dia inginkan. Namun itu membuatnya menjadi gadis yang manja. Kalau keinginannya tidak terpenuhi, gadis itu akan marah. Ia bahkan sering berkata kasar. Walaupun begitu, orangtua dan rakyat di kerajaan itu mencintainya.

Hari berlalu, Putri pun tumbuh menjadi gadis tercantik di seluruh negeri. Dalam beberapa hari, Putri akan berusia 17 tahun. Maka para penduduk di negeri itu pergi ke istana. Mereka membawa aneka hadiah yang sangat indah. Prabu mengumpulkan hadiah-hadiah yang sangat banyak itu, lalu menyimpannya dalam ruangan istana. Sewaktu-waktu, ia bisa menggunakannya untuk kepentingan rakyat.

Prabu hanya mengambil sedikit emas dan permata. Ia membawanya ke ahli perhiasan. "Tolong, buatkan kalung yang sangat indah untuk putriku," kata Prabu. "Dengan senang hati, Yang Mulia," sahut ahli perhiasan. Ia lalu bekerja d sebaik mungkin, dengan sepenuh hati. Ia ingin menciptakan kalung yang paling indah di dunia, karena ia sangat menyayangi Putri.

Hari ulang tahun pun tiba. Penduduk negeri berkumpul di alun-alun istana. Ketika Prabu dan Ratu datang, orang menyambutnya dengan gembira. Sambutan hangat makin terdengar, ketika Putri yang cantik jelita muncul di hadapan semua orang. Semua orang mengagumi kecantikannya.

Prabu lalu bangkit dari kursinya. Kalung yang indah sudah dipegangnya. "Putriku tercinta, hari ini aku berikan kalung ini untukmu. Kalung ini pemberian orang-orang dari penjuru negeri. Mereka sangat mencintaimu. Mereka mempersembahkan hadiah ini, karena mereka gembira melihatmu tumbuh jadi dewasa. Pakailah kalung ini, Nak," kata Prabu.

Putri menerima kalung itu. Lalu ia melihat kalung itu sekilas. "Aku tak mau memakainya. Kalung ini jelek!" seru Putri. Kemudian ia melempar kalung itu. Kalung yang indah pun rusak. Emas dan permatanya tersebar di lantai.

Itu sungguh mengejutkan. Tak seorang pun menyangka, Putri akan berbuat seperti itu. Tak seorang pun bicara. Suasana hening. Tiba-tiba terdengar tangisan Ratu. Tangisannya diikuti oleh semua orang.

Tiba-tiba muncul mata air dari halaman istana. Mula-mula membentuk kolam kecil. Lalu istana mulai banjir. Istana pun dipenuhi air bagai danau. Lalu danau itu makin besar dan menenggelamkan istana.

Sekarang, danau itu disebut Talaga Warna. Danau itu berada di daerah puncak. Di hari yang cerah, kita bisa melihat danau itu penuh warna yang indah dan mengagumkan. Warna itu berasal dari bayangan hutan, tanaman, bunga-bunga, dan langit di sekitar telaga. Namun orang mengatakan, warna-warna itu berasal dari kalung Putri yang tersebar di dasar telaga.

Sumber: http://www.geocities.com/kesumawijaya/ceritarakyat/jabar1.html

Caadara: cerita rakyat dari Irian Jaya

Diceritakan kembali oleh Renny Yaniar

Suatu saat, hiduplah seorang panglima perang bernama Wire. Ia tinggal di desa Kramuderu. Ia mempunyai seorang anak laki-laki bernama Caadara.

Sejak kecil Caadara dilatih ilmu perang dan bela diri oleh ayahnya. Wire berharap, kelak anaknya bisa menggantikannya sebagai panglima perang yang tangguh.

Tahun berganti. Caadara tumbuh menjadi pemuda yang gagah. Caadara juga tangkas dan cakap. Wire ingin menguji kemampuan anaknya. Karena itulah ia menyuruh pemuda itu berburu di hutan.

Caadara mengumpulkan teman-temannya. Lalu mereka berangkat berburu. Mereka berjalan melewati jalan setapak dan semak belukar. Di hutan mereka menemui banyak binatang. Mereka berhasil menombak beberapa binatang.

Dari hari pertama sampai hari keenam, tak ada rintangan yang berarti untuk Caadara dan anak buahnya. Tapi esok harinya mereka melihat anjing pemburu. Kedatangan anjing itu menandakan bahaya yang akan mengancam.

Caadara dan anak buahnya segera siaga. Mereka menyiapkan busur, anak panah, kayu pemukul, dan beberapa peralatan perang. Mereka waspada.

Tiba-tiba terdengar pekikan keras. Sungguh menakutkan! Anak buah Caadara ketakutan. Tapi Caadara segera menyuruh mereka membuat benteng pertahanan. Mereka menuju tanah lapang berumput tinggi. Tempat itu penuh semak belukar. Di sana mereka membangun benteng untuk menangkis serangan musuh.

Tiba-tiba muncullah 50 orang suku Kuala. Mereka berteriak dan menyerang Caadara dan anak buahnya. Tongkat dan tombak saling beradu. Sungguh pertempuran yang seru. Caadara tidak gentar. Ia memimpin pertempuran dengan semangat tinggi. Padahal jumlah anak buahnya tak sebanding dengan jumlah musuh.

Caadara berhasil merobohkan banyak musuh. Sedangkan musuh yang tersisa melarikan diri.

Betapa kagumnya teman-teman Caadara melihat anak panglima perang Wire. Mereka segan dan kagum padanya. Mereka pulang sambil mengelu-elukan Caadara.

Kampung gempar dibuatnya. Wire sungguh bangga. Ia juga terharu sehingga berlinang air mata. Tak sia-sia latihan yang diberikan pada Caadara.

Kampung gempar mendengarnya. Ayahnya terharu dan berlinang air mata. Pesta malam hari pun diadakan. Persiapan menyerang suku Kuala pun diadakan, karena mereka telah menyerang Caadara.

Esok harinya, Caadara diberi anugerah berupa kalung gigi binatang, bulu kasuari yang dirangkai indah, dengan bulu cendrawasih di tengahnya.

Kemudian masyarakat desa mempelajari Caadara Ura, yaitu taktik perang Caadara. Taktik itu berupa melempar senjata, berlari, menyerbu dengan senjata, seni silat jarak dekat, dan cara menahan lemparan kayu. Nama Caadara kemudian tetap harum. Ia dikenal sebagai pahlawan dari desa itu.

Timun Mas: cerita rajyat Jawa Tengah

Diceritakan kembali oleh Renny Yaniar

Pada zaman dahulu, hiduplah sepasang suami istri petani. Mereka tinggal di sebuah desa di dekat hutan. Mereka hidup bahagia. Sayangnya mereka belum saja dikaruniai seorang anak pun.

Setiap hari mereka berdoa pada Yang Maha Kuasa. Mereka berdoa agar segera diberi seorang anak. Suatu hari seorang raksasa melewati tempat tinggal mereka. Raksasa itu mendengar doa suami istri itu. Raksasa itu kemudian memberi mereka biji mentimun.

"Tanamlah biji ini. Nanti kau akan mendapatkan seorang anak perempuan," kata Raksasa. "Terima kasih, Raksasa," kata suami istri itu. "Tapi ada syaratnya. Pada usia 17 tahun anak itu harus kalian serahkan padaku," sahut Raksasa. Suami istri itu sangat merindukan seorang anak. Karena itu tanpa berpikir panjang mereka setuju.

Suami istri petani itu kemudian menanam biji-biji mentimun itu. Setiap hari mereka merawat tanaman yang mulai tumbuh itu dengan sebaik mungkin. Berbulan-bulan kemudian tumbuhlah sebuah mentimun berwarna keemasan.

Buah mentimun itu semakin lama semakin besar dan berat. Ketika buah itu masak, mereka memetiknya. Dengan hati-hati mereka memotong buah itu. Betapa terkejutnya mereka, di dalam buah itu mereka menemukan bayi perempuan yang sangat cantik. Suami istri itu sangat bahagia. Mereka memberi nama bayi itu Timun Mas.

Tahun demi tahun berlalu. Timun Mas tumbuh menjadi gadis yang cantik. Kedua orang tuanya sangat bangga padanya. Tapi mereka menjadi sangat takut. Karena pada ulang tahun Timun Mas yang ke-17, sang raksasa datang kembali. Raksasa itu menangih janji untuk mengambil Timun Mas.

Petani itu mencoba tenang. "Tunggulah sebentar. Timun Mas sedang bermain. Istriku akan memanggilnya," katanya. Petani itu segera menemui anaknya. "Anakkku, ambillah ini," katanya sambil menyerahkan sebuah kantung kain. "Ini akan menolongmu melawan Raksasa. Sekarang larilah secepat mungkin," katanya. Maka Timun Mas pun segera melarikan diri.

Suami istri itu sedih atas kepergian Timun Mas. Tapi mereka tidak rela kalau anaknya menjadi santapan Raksasa. Raksasa menunggu cukup lama. Ia menjadi tak sabar. Ia tahu, telah dibohongi suami istri itu. Lalu ia pun menghancurkan pondok petani itu. Lalu ia mengejar Timun Mas ke hutan.

Raksasa segera berlari mengejar Timun Mas. Raksasa semakin dekat. Timun Mas segera mengambil segenggam garam dari kantung kainnya. Lalu garam itu ditaburkan ke arah Raksasa. Tiba-tiba sebuah laut yang luas pun terhampar. Raksasa terpaksa berenang dengan susah payah.

Timun Mas berlari lagi. Tapi kemudian Raksasa hampir berhasil menyusulnya. Timun Mas kembali mengambil benda ajaib dari kantungnya. Ia mengambil segenggam cabai. Cabai itu dilemparnya ke arah raksasa. Seketika pohon dengan ranting dan duri yang tajam memerangkap Raksasa. Raksasa berteriak kesakitan. Sementara Timun Mas berlari menyelamatkan diri.

Tapi Raksasa sungguh kuat. Ia lagi-lagi hampir menangkap Timun Mas. Maka Timun Mas pun mengeluarkan benda ajaib ketiga. Ia menebarkan biji-biji mentimun ajaib. Seketika tumbuhlah kebun mentimun yang sangat luas. Raksasa sangat letih dan kelaparan. Ia pun makan mentimun-mentimun yang segar itu dengan lahap. Karena terlalu banyak makan, Raksasa tertidur.

Timun Mas kembali melarikan diri. Ia berlari sekuat tenaga. Tapi lama kelamaan tenaganya habis. Lebih celaka lagi karena Raksasa terbangun dari tidurnya. Raksasa lagi-lagi hampir menangkapnya. Timun Mas sangat ketakutan. Ia pun melemparkan senjatanya yang terakhir, segenggam terasi udang. Lagi-lagi terjadi keajaiban. Sebuah danau lumpur yang luas terhampar. Raksasa terjerembab ke dalamnya. Tangannya hampir menggapai Timun Mas. Tapi danau lumpur itu menariknya ke dasar. Raksasa panik. Ia tak bisa bernapas, lalu tenggelam.

Timun Mas lega. Ia telah selamat. Timun Mas pun kembali ke rumah orang tuanya. Ayah dan Ibu Timun Mas senang sekali melihat Timun Mas selamat. Mereka menyambutnya. "Terima Kasih, Tuhan. Kau telah menyelamatkan anakku," kata mereka gembira.

Sejak saat itu Timun Mas dapat hidup tenang bersama orang tuanya. Mereka dapat hidup bahagia tanpa ketakutan lagi.


MANIK ANGKERAN

Cerita rakyat BALI

Pada jaman dulu di kerajaan Daha hiduplah seorang Brahmana yang benama Sidi Mantra yang sangat terkenal kesaktiannya. Sanghyang Widya atau Batara Guru menghadiahinya harta benda dan seorang istri yang cantik. Sesudah bertahun-tahun kawin, mereka mendapat seorang anak yang mereka namai Manik Angkeran.

Meskipun Manik Angkeran seorang pemuda yang gagah dan pandai namun dia mempunyai sifat yang kurang baik, yaitu suka berjudi. Dia sering kalah sehingga dia terpaksa mempertaruhkan harta kekayaan orang tuanya, malahan berhutang pada orang lain. Karena tidak dapat membayar hutang, Manik Angkeran meminta bantuan ayahnya untuk berbuat sesuatu. Sidi Mantra berpuasa dan berdoa untuk memohon pertolongan dewa-dewa. Tiba-tiba dia mendengar suara, "Hai, Sidi Mantra, di kawah Gunung Agung ada harta karun yang dijaga seekor naga yang bernarna Naga Besukih. Pergilah ke sana dan mintalah supaya dia mau mernberi sedikit hartanya."

Sidi Mantra pergi ke Gunung Agung dengan mengatasi segala rintangan. Sesampainya di tepi kawah Gunung Agung, dia duduk bersila. Sambil membunyikan genta dia membaca mantra dan memanggil nama Naga Besukih. Tidak lama kernudian sang Naga keluar. Setelah mendengar maksud kedatangan Sidi Mantra, Naga Besukih menggeliat dan dari sisiknya keluar emas dan intan. Setelah mengucapkan terima kasih, Sidi Mantra mohon diri. Semua harta benda yang didapatnya diberikan kepada Manik Angkeran dengan harapan dia tidak akan berjudi lagi. Tentu saja tidak lama kemudian, harta itu habis untuk taruhan. Manik Angkeran sekali lagi minta bantuan ayahnya. Tentu saja Sidi Mantra menolak untuk membantu anakya.

Manik Angkeran mendengar dari temannya bahwa harta itu didapat dari Gunung Agung. Manik Angkeran tahu untuk sampai ke sana dia harus membaca mantra tetapi dia tidak pernah belajar mengenai doa dan mantra. Jadi, dia hanya membawa genta yang dicuri dari ayahnya waktu ayahnya tidur.

Setelah sampai di kawah Gunung Agung, Manik Angkeran membunyikan gentanya. Bukan main takutnya ia waktu ia melihat Naga Besukih. Setelah Naga mendengar maksud kedatangan Manik Angkeran, dia berkata, "Akan kuberikan harta yang kau minta, tetapi kamu harus berjanji untuk mengubah kelakuanmu. Jangan berjudi lagi. Ingatlah akan hukum karma."

Manik Angkeran terpesona melihat emas, intan, dan permata di hadapannya. Tiba-tiba ada niat jahat yang timbul dalam hatinya. Karena ingin mendapat harta lebih banyak, dengan secepat kilat dipotongnya ekor Naga Besukih ketika Naga beputar kembali ke sarangnya. Manik Angkeran segera melarikan diri dan tidak terkejar oleh Naga. Tetapi karena kesaktian Naga itu, Manik Angkeran terbakar menjadi abu sewaktu jejaknya dijilat sang Naga.

Mendengar kernatian anaknya, kesedihan hati Sidi Mantra tidak terkatakan. Segera dia mengunjungi Naga Besukih dan memohon supaya anaknya dihidupkan kembali. Naga menyanggupinya asal ekornya dapat kembali seperti sediakala. Dengan kesaktiannya, Sidi Mantra dapat memulihkan ekor Naga. Setelah Manik Angkeran dihidupkan, dia minta maaf dan berjanji akan menjadi orang baik. Sidi Mantra tahu bahwa anaknya sudah bertobat tetapi dia juga mengerti bahwa mereka tidak lagi dapat hidup bersama.

"Kamu harus mulai hidup baru tetapi tidak di sini," katanya. Dalam sekejap mata dia lenyap. Di tempat dia berdiri timbul sebuah sumber air yang makin lama makin besar sehingga menjadi laut. Dengan tongkatnya, Sidi Mantra membuat garis yang mernisahkan dia dengan anaknya. Sekarang tempat itu menjadi selat Bali yang memisahkan pulau Jawa dengan pulau Bali.

Sumber: http://www.seasite.niu.edu/Indonesian/Budaya_Bangsa/Cerita_Rakyat/Bali.htm

Kebo Iwa

Diceritakan kembali oleh Renny Yaniar

Di Bali pada zaman dahulu, hiduplah sepasang suami istri. Mereka kaya, hanya saja mereka belum mempunyai anak. Suatu hari mereka pergi ke pura. Mereka memohon kepada Yang Maha Kuasa agar diberi keturunan.

Waktu pun berlalu. Sang istri mulai mengandung. Betapa bahagianya mereka. Beberapa bulan kemudian, lahirlah seorang bayi laki-laki.

Ternyata yang lahir bukanlah bayi biasa. Ketika masih bayi pun ia sudah bisa makan makanan orang dewasa. Setiap hari anak itu makin banyak dan makin banyak.

Anak itu tumbuh menjadi orang dewasa yang tinggi besar. Karena itu ia dipanggil dengan nama Kebo Iwa, yang artinya paman kerbau.

Kebo Iwa makan dan makan terus dengan rakus. Lama-lama habislah harta orang tuanya untuk memenuhi selera makannya. Mereka pun tak lagi sanggup memberi makan anaknya.

Dengan berat hati mereka meminta bantuan desa. Sejak itulah segala kebutuhan makan Kebo Iwa ditanggung desa. Penduduk desa kemudian membangun rumah yang sangat besar untuk Kebo Iwa. Mereka pun memasak makanan yang sangat banyak untuknya. Tapi lama-lama penduduk merasa tidak sanggup untuk menyediakan makanan. Kemudian mereka meminta Kebo Iwa untuk memasak sendiri. Mereka cuma menyediakan bahan mentahnya.

Kebo Iwa memang serba besar. Jangkauan kakinya sangat lebar, sehingga ia dapat bepergian dengan cepat. Kalau ia ingin minum, Kebo Iwa tinggal menusukkan telunjuknya ke tanah. Sehingga terjadilah sumur kecil yang mengeluarkan air.

Karena kehebatannya, Kebo Iwa dapat menahan serbuan pasukan Majapahit yang hendak menaklukkan Bali. Maha Patih Majapahit pun mengatur siasat. Ia mengundang Kebo Iwa ke Majapahit. Ia kemudian meminta Kebo Iwa membuatkan beberapa sumur, karena kerajaan itu kekuarangan air minum.

Kebo Iwa menyanggupi tanpa curiga. Setibanya di Majapahit, ia menggali banyak sumur. Sungguh pekerjaan yang berat, karena ia harus menggali dalam sekali. Ketika Kebo Iwa sedang bekerja di dasar sumur, Sang Patih memerintahkan pasukannya menimbuni Kebo Iwa dengan kapur. Kebo Iwa sesak napasnya. Kemudian ia pun meninggal di dasar sumur.

Dengan meninggalnya Kebo Iwa, Bali pun dapat ditaklukkan Majapahit. Berakhirlah riwayat orang besar yang berjasa pada Pulau Bali.

Sumber: http://www.geocities.com/kesumawijaya/ceritarakyat/bali1.html


Thursday, March 5, 2009

Padi Sebesar Kelapa

Dongeng Nusantara I Cerita Rakyat I Cerita Daerah I Asal Usul
Dahulu kala di daerah Teluk Pandak terdapatlah sebuah padi sebesar buah kelapa. Masyarakat setempat tidak pernah tahu dari mana asalnya. Padi itu ditemukan oleh seorang penduduk di sekitar rumahnya. Padi yang ditemukan itu bukanlah padi lengkap dengan batangnya, namun hanya sebuah biji padi sebesar kelapa lengkap dengan cangkangnya. Penduduk Teluk Pandak percaya bahwa padi itu merupakan titisan dari Dewi Sri. Mereka seperti mendapatkan berkah dengan turunnya padi itu ke tempat mereka.

Saat musim tanam tiba, masyarakat membawa padi sebesar kelapa tersebut ke sawah yang akan ditanami. Setelah padi di tanam, masyarakat berkumpul untuk melakukan doa bersama agar padi yang ditanam mendapat berkah dari Tuhan. Sekelompok muda-mudi membawakan tari Dewi Sri. Tarian itu diiringi oleh lagu yang bersyair doa dan pujian kepada Tuhan. Lagu itu mereka namakan dengan Nandung. Kulit padi mereka pukul-pukul sebagai gendang pengiring tarian Dewi Sri.

Waktu terus berjalan. Musim panen pun tiba. Masyarakat kembali berkumpul dan bersama-sama melakukan panen. Panen pertama ini mereka lakukan hanya untuk sebagian kecil padi yang akan digunakan untuk acara makan bersama. Saat akan menuai padi, mereka menimang-nimang padi titisan Dewi Sri itu sambil melantunkan puji-pujian kepada Tuhan atas keberhasilan tanaman mereka. Padi yang sudah dituai kemudian diirik dengan kaki. Setelah itu padi dijemur. Setelah menjadi beras, padi itu dimasak dan dipersiapkanlah sebuah acara makan bersama. Dalam acara itu padi sebesar kelapa itu kembali dibawa. Sebelum makan mereka melagukan syair-syair yang intinya adalah syukuran, doa mohon keberkahan, dan keselamatan kepada Tuhan. Acara makan pun selesai. Keesokan harinya masyarakat secara bersama-sama memanen seluruh padi.

Setelah seluruh padi selesai dipanen, tumbuhlah anak padi dari bekas batang padi yang tinggal. ini lebih kecil. Mereka menamakan padi yang lebih kecil itu dengan Salibu. Padi itu ukurannya lebih kecil dari ukuran padi biasa. Salibu itu kemudian di panen. Setelah dipisahkan dari cangkangnya, Salibu kemudian digonseng dan ditumbuk hingga berbentuk emping. Proses menggonseng hingga menumbuk Salibu dilakukan oleh muda-mudi dari sore hingga malam hari. Selama proses itu tidak jarang ada muda-mudi yang akhirnya berjodoh. Emping dari Salibu kemudian dimakan bersama-sama dalam acara pernikahan muda-mudi yang berjodoh itu.

Sumber: yayasanlangit.blogspot.com

Bukit Kancah

Dongeng Nusantara I Cerita Rakyat I Cerita Daerah I Asal Usul

Di desa Tanjung kurang lebih 81 km dari Muarabungo, oleh masyarakatnya masih mempercayai dan meyakini akan keberadaan cerita tentang orang/makhluk halus. Alkisah ada tiga orang kakak beradik yang yatim piatu. Dua orang laki-laki dan yang bungsu seorang perempuan. Pilihan nasib membawa pertumbuhan ketiga beradik beranjak dewasa dalam kerukunan bersama. Orang-orang disekitarnya tak ambil peduli. Kepedulian itu rupanya diambil oelh bangsa siluman yang bermukim di hutan lebat Desa Tanjung. Siluman penyantun itu dengan tekun mendatangi dan mengajarkan berbagai ilmu dan bergaul dengan mereka sejak kecil hingga dewasa. Kepandaian menghilang itu akhirnya diketahui secara luas dan membuat orang-orang menyegani ketiga adik beradik itu.

Terceritalah kemudian, negeri Tanjung dapatgangguan dari negeri tetangga. Peperangan antarnegeri tak erelaan lagi. Kedaulatan negeri Tanjung terancam berat dan para hulubalang dan prajurit tak mampu lagi membendung serangan dan kecaman yang datang. Raja negeri teringat akan warga yang memiliki ilmu siluman tadi. Tanpa membantah, demi keamanan negeri, kedua anak remaja yatim piatu yang memiliki ilmu siluman itu menuju ke medan laga. Sebelum pergi ketiganya bersepakat agar adik bungsunya tidak ikut ke medan laga. Demi keselamatan adik perempuannya, disepakati untuk menyembunyikan sang adik bungsu terlebih dahulu kesuatu tempat yang dirasa aman. Untuk dititipkan pada seseorang kurang memungkinkan karena semuanya uga merasa tidak aman dari kekacauan dan infiltrasi musuh. Mereka pada tercenung mencari jalan keluar yang benar-benar aman. Kendati usul sang adik kurang meyakinkan, tapi oleh desakan keadaan, kakak tua menyepakatinya. Dengan merapal mantra sakti warisan siluman penjaga rimba, disungkuplah sang adik bungsu dengan sebuah kancah. Selesai merapal ajian, kancah penyungkup adik perempuannya lenyap tak kelihatan lagi. Yakinlah mereka sang adik akan terhindar dari berbagai ancaman karena tak bakal terlihat oleh siapapun.

Kedua bersaudara itu dengan hati yang mantap dan tekad yang membaja, bergegas ke medan laga menyatu dengan pasukan negeri Tanjung menghalau musuh. Dengan kemampuan dan kedigdayaan ilmu siluman yang dimilikinya, keduanya dengan leluasa bergerak dari satu prajurit ke prajurit lainnya. Habis ditikam dan ditetaknya, tanpa musuh menyadari telah bermandi darah dan meregang nyawa.
Pasukan negeri Tanjung bersorak gembira melihat musuh lintang pukang surut ke belakang, kedua lelaki itu dianjung dalam dukungan para prajurit karena dianggap sebagai orang yang berjasa, berandil besar dalam menghancurleburkan para pengacau negeri. Dua kakak beradik itu akhirnya diangkat sebagai hulubalang kerajaan. Sayang sebanyak itu yang senang sebanyak itu pula yang merasa tersingkirkan oleh pengaruh hulubalang berusia muda. Pangkat dan jabatan tinggi dalam usia belasan tahun telah menggelegakkan rasa kecemburuan sekelompok hulubalang kerajaan. Selain itu para infiltran musuh telah menyusup mempengaruhi para hulubalang yang patah hati, katakanlah sekelompok barisan sakit hati telah berhasil dihimpun musuh bak api dalam sekam.

Kepulan asap kedengkian dan iri barisan sakit hati berkobar dalam bentuk gerakan-gerakan bawah tanah dan pemberontakan yang terang-teranga. Tak ada pilihan lain, Baginda Raja Negeri Tanjung kembali menugaskan dua lelaki beradik itu untuk menumpas pemberontakan itu.
Betapa masgulnya hati mereka berdua ketika terjun ke kancah penumpasan pemberontakan itu. Banyak diantara mereka yang memberontak itu adalah teman-teman seperjuangannya, tetangganya semasa kecil bahkan teman sepermainannya sendiri. Keraguan mulai menyelimuti hatinya. Rasa kesal menyeruak di kalbunya dan buyarlah kemantapan aji penghalimunan dan kesaktian siluman yang dimilikinya. Saat kritis antara ragu dan bimbang itulah dimanfaatkan teman-teman hulubalang pemberontak untuk mengeroyok membabi buta. Rupanya saat itu hari naas sang kakak tiba diperhitungannya. Ia tewas dihujam keris teman sendiri. Melihat kakaknya gugur, sang adik berputar bak gasingputing beliung melabrak seluruh pemberontak. Luluhlantak tubuh bergelimpangan para pemberontak tak berupa lagi.

Sang adik akhirnya membawa tubuh kakaknya pulang dan menghadap raja sekaligus melaporkan keberhasilannya menumpas para pemberontak. Setelah pemakaman sang kakak sebagai seorang hulubalang perkasa tameng negeri, sang adik diangkat sebagai hulubalang istana dan sekaligus di samping mendapat anugerah harta benda, ia pun dinikahkan dengan putri baginda nan elok rupaan.
Beberapa bulan setelah pesta perkawinan, sang adik tersadar teringat akan si adik yang tersungkup kancah disuatu tempat. Dengan restu baginda raja dan persetujuan istri, sang adik lelaki segera menuju ujung negeri tempat adiknya ditinggal mereka berdua. Di tempat itu diserulah nama adiknya. Lapat-lapat terdengar sahutan sang adik tak jauh dari tempatnya berdiri. Tersadarlah ia dan terkejut bukan main karena ilu penyungkup itu hanya dimiliki oleh sang kakak yang telah tewas. Keduanya sama terisak sedih dan saling meratap akan nasib yang tak seorangpun dapat mengetahuinya.
Dua bulan lebih kedua kakak beradik itu hanya bisa berbicara saja tanpa berdaya untuk membuka atau keluar dari sungkup tak kelihatan itu. Keduanya tak menemukan jalan keluar untuk meretas nasib peruntungan kehidupan manusia. Berat timbangan antara istri dan kerajaan yang ditinggalkan serta kondisi adik yang tersungkup tanpa bisa dibuka membuat ia lunglai. Dalam lunglai itulah ia pamit pada adiknya untuk kembali dulu ke kerajaan sambil mencari cara melepas ilmu halimunan.
Lima tahun kemudian, lewat tengah malam sang kakak bermimpi bersua dengan kakaknya. Kalau kau akan melihat adik kita kembali, bantailah tiga ekor kerbau putih dan darahnya taburkan ke sungkup serta bacalah al-quran tiga puluh kali hatam. Bergegas raja memerintahkan rakyatnya untuk mencari tiga ekor kerbau putih. Sayangnya tak seorangpun dapat menemukannya.

Duka nestapa, hiba, sedih dan kepiluan semakin mendalam ketika sang kakak merasakan kancah halimun penyungkup adik perempuannya semakin berubah wujud membesar menjadi bukit. Dari waktu ke waktu bukit itu ditumbuhi belukar dan kekayuan. Tak terdengar lagi suara isak sang adik selain suara desir yang mendayu dan gemericik air yang turun menetes dari puncak bukit bak dendang kepiluan anak manusia menghitung hari yang penuh kemalangan.

Sampai sekarang di desa Tanjung terdapat bukit Kancah yang memendam sepotong kisah anak manusia.

Sumber:yayasanlangit.blogspot.com dengan judul Orang/Makhluk Halus

Lubuk Bujang Gadis

Dongeng Nusantara I Cerita Rakyat I Cerita Daerah I Asal Usul
Dahulu kala hiduplah seorang bujang yang digelari oleh masyarakat dengan Bujang Tuo. Gelar itu dilekatkan kepadanya karena usianya yang sudah tidak muda lagi, namun ia tak kunjung menikah. bujang Tuo cukup gagah, apalagi ia memiliki tubuh yang kekar. Bujang Tuo tinggal di desa Senamat Ulu. Desa itu terletak di hulu batang Senamat. Penduduk desa Senamat Ulu tidak terlalu banyak. Mereka hidup dengan mencari ikan di Batang Senamat dan sebagian ada yang bercocok tanam.

Orang tua Bujang Tuo sebenarnya sudah lama menyinggung soal pernikahan kepadanya, namun ia tidak begitu menanggapinya. Bagi Bujang Tuo jodoh ada di tangan Sang Pencipta. Bujang Tuo adalah anak yang suka bekerja. Hal ini yang membuatnya tidak begitu terbebani dengan keinginan untuk menikah.
Untuk kesekian kalinya bertanyalah ibu Bujang Tuo kepadanya, “Kapan lagi kau nak menikah, Bujang, sudah rindu rasanya kami nak menimang cucu.”
“Sudahlah, Mak, biar Tuhan yang berkehendak. Aku pun hendak, namun tak mungkin bila tiada rasa,” jawab Bujang Tuo.
“Tapi, bagaimana dengan orang kampung. Rasanya sakit telinga Mak mendengar gunjingan mereka.”
“Sabarlah, Mak. Aku pun begitu.”
Bujang Tuo pamit kepada orang tuanya untuk berjalan-jalan menenangkan pikiran. Iba hati orang tuanya melihat nasib anak satu-satunya itu. Mereka tahu bahwa Bujang Tuo lebih tertekan dengan sindiran penduduk kampung, namun mereka tak dapat berbuat banyak. Mereka hanya dapat berdoa agar Bujang Tuo segera mendapatkan jodoh dan menikah.

Bujang Tuo pergi ke Batang Senamat. Dilepasnya pautan rakitnya dan ia mulai menyusuri Batang Senamat. Gundah juga hatinya memikirkan persoalan itu. Sebetulnya ia juga ingin untuk menikah, namun ia tidak mau menikah dengan gadis yang tidak disukainya. Selama ini Batang Senamat merupakan tempat pelarian keluh kesahnya. Hamparan hutan dan bukit di kiri kanan Batang Senamat seolah memberikan ketenangan kepadanya. Ia sering berlayar jauh untuk mengobati luka hatinya. Saat ini kata hatinya ingin pergi ke desa Senamat yang terletak di hilir Batang Senamat.
Dalam perjalanannya, Bujang Tuo sering bersenandung untuk menghibur diri. Ia begitu mengagumi kebesaran Tuhan yang telah menciptakan alam yang begitu indah, namun ia juga sering berkeluh kesah kepada Tuhan mengapa belum juga ada jodoh untuk dirinya.

Di tengah perjalanan, tiba-tiba ia mendengar suara perempuan menyanyi. Suara itu berasal dari bukit di sisi Batang Senamat. Namun suara itu tidak terdengar lagi ketika ia ingin menghentikan rakitnya. Ingin rasanya Bujang Tuo pergi ke sana, namun ia juga takut kalau itu hanya igauannya. Lama ia menunggu suara itu, namun tidak terdengar juga. Akhirnya Bujang Tuo melanjutkan perjalanannya. Namun ia masih memikirkan peristiwa tadi. Ia masih penasaran dengan suara itu.

Keesokan harinya ia kembali melewati tempat itu. Sesampai di sana ia kembali mendengar suara perempuan menyanyi, namun lebih mirip suara tangisan. Ketika Bujang Tuo akan menghentikan rakitnya suara itu kembali hilang. Bujang Tuo semakin penasaran. Namun ia masih belum berani untuk menaiki bukit tempat suara itu berasal. Ia takut kalau suara itu adalah miliki penunggu bukit itu. Bulu kuduknya berdiri dan ia kembali melanjutkan perjalanannya. Sesampai di rumah Bujang Tuo tak bisa tidur. Ia masih penasaran dengan peristiwa di Batang Senamat itu. Ingin rasanya ia pergi ke bukit itu, namun ia takut kalau itu bukan suara manusia melainkan penghuni bukit itu. Tetapi selama perjalanannya ke desa Senamat, baru hari itu ia mendengar suara perempuan menyanyi. Bujang Tuo semakin penasaran. Setelah lama merenung, akhirnya ia berjanji bila besok masih mendengar suara itu, maka ia akan menaiki bukit itu.

Keesokan harinya ia kembali melewati bukit itu dan ia kembali mendengar suara perempuan menyanyi. Dengan cepat Bujang Tuo menepikan rakitnya dan menaiki bukit mencari sumber suara itu. Suara itu semakin jelas didengarnya. Perlahan Bujang Tuo mengintip dari balik daun-daun siapa gerangan yang sedang menyanyi itu. Ia melihat seorang perempuan sedang menangis tersedu-sedu duduk di atas batu. Ia yakin itu adalah manusia karena tak jauh dari sana ada kebun dan sebuah rumah.

Bujang Tuo mendekati perempuan itu dan mereka pun berkenalan. Akhirnya diketahuilah bahwa perempuan itu bernama Gadis. Ia tinggal dengan kedua orang tuanya. Hanya mereka yang tinggal di atas bukit itu. Usia Gadis sudah tidak muda lagi. Namun selama ini ia belum mau menikah karena masih asik dengan pekerjaan dan kebebasannya. Meskipun orang tuanya sudah berulang kali menanyakan perihal itu kepadanya. Sekarang setelah tidak muda lagi baru muncul keinginannya untuk menikah. itulah yang membuatnya bersedih sehingga sering menangis. Bujang Tuo merasa bahwa jalan hidup Gadis mirip dengan dirinya.

Semenjak saat itu, Bujang Tuo sering berkunjung ke sana. Ia merasa tertarik dengan Gadis, namun ia belum berani untuk mengungkapkannya. Ia masih ingin melihat-lihat terlebih dahulu. Bujang Tuo juga tidak menceritakan peristiwa itu kepada orang lain termasuk orang tuanya. Ia tak ingin mereka tahu sebelum ia mendapat kepastian akan hubungan mereka. Hingga pada suatu saat Bujang Tuo pun mengutarakan perasaannya kepada Gadis. Akan tetapi, Gadis masih ragu dengan keseriusan Bujang Tuo. Ia takut kalau-kalau Bujang Tuo hanya bermain-main apalagi ia belum begitu mengenal asal-usul Bujang Tuo. Akhirnya Bujang Tuo memberikan kesempatan kepada Gadis untuk memikirkannya beberapa waktu.

Sampailah pada masa yang telah disepakati untuk bertemu. Mereka duduk di tepi lubuk. Bujang Tuo ingin sekali mendengar jawaban Gadis. Di dalam hati ia berdoa agar Gadis berjodoh dengannya.
“Sampaikanlah buah renungmu, Gadis. Ingin aku segera mendengarnya.”
“Abang, bimbang aku memutuskannya. Masih ada ragu di hati tentang keseriusan Abang. Namun, jika benar abang bersungguh-sungguh, kelak datanglah sebulan lagi untuk melamarku. Itulah bukti keseriusan abang.”
Tanpa pikir panjang Bujang Tuo langsung menyanggupi permintaan Gadis. Ia bahagia dengan jawaban yang diberikan Gadis.
“Baiklah, jika itu pintamu aku menyanggupinya,” jawab Bujang Tuo.
“Tapi, aku ingin abang berikrar setia dalam sumpah bahwa abang bersungguh-sungguh. Selama ini baru abang lelaki yang mampu menggerakkan hatiku. Aku tidak ingin semua ini hanya angan belaka. Niat baik sering banyak cobaannya, Bang.”
Bujang Tuo terdiam sesaat. Ia mencoba memahami permintaan Gadis. Namun Bujang Tuo bingung seperti apa sumpah yang dapat memberikan keyakinan pada Gadis. Setelah terdiam beberapa saat akhirnya Bujang Tuo bicara juga.

“Baiklah. Untuk kesungguhan kita aku bersumpah akan menjadi buaya di lubuk ini seandainya kita tidak jadi menikah.” gadis pun menerima sumpah yang diikrarkan BujangTuo. Ia memilih menjadi buaya di lubuk itu daripada harus menanggung malu karena batal menikah.

Hari berganti. Sebulan telah berlalu semenjak Bujang Tuo mengikrarkan sumpah. Pagi itu Gadis telah berada di tepi lubuk tempat dulu mereka berjanji. Gadis ingin lekas bertemu dengan Bujang Tuo yang akan datang melamarnya sesuai janjinya. Lama ia duduk, namun belum tampak juga olehnya Bujang Tuo. Sampai selepas tengah hari Bujang Tuo masih juga belum datang. Gadis mulai resah kalau-kalau Bujang Tuo tidak akan datang. Jika itu terjadi ia tak sanggup menanggung malu kepada orang tuanya.
Hari sudah mulai sore, namun Bujang Tuo belum juga menampakkan diri. Gadis menangis. Hancur hatinya Bujang Tuo belum juga datang. Dalam kesedihan dan keputusasaan itu keluarlah keluhannya.
“Mengapa ketika ada keinginanku untuk menikah setelah ada orang yang menggerakkan hatiku, semua menjadi begini? Tak sanggup aku menanggung malu. Jika memang ini nasibku, aku terima kutukan itu.”
Setelah meratap seperti itu tiba-tiba terjadi perubahan pada Gadis. Secara perlahan mulai dari kakinya mundul sisik-sisik buaya. Lalu bentuk tubuhnya pun mulai berubah menjadi bentuk buaya. Namun semua berwarna putih. Pada saat kepalanya akan berubah menjadi kepala buaya, Bujang Tuo datang. Bujang Tuo sempat melihat kepala Gadis yang belum berubah menjadi buaya, namun terlambat. Ketika ia datang seluruh tubuh gadis telah berubah menjadi buaya. Bujang tuo menyesali keterlambatannya. Ia menangis tersedu-sedu. Dalam kesedihan itu ia pun berkata, “Mengapa ini yang terjadi. Setelah datang keinginanku untuk menikah, tapi tidak juga terkabul. Buruk sekali nasibku. Jika ini suratanku, aku teruma kutukan itu!” Akhirnya Bujang Tuo pun berubah menjadi seekor buaya putih.
Mereka sama-sama telah berubah menjadi buaya putih di sebuah lubuk di Batang Senamat. Kepala mereka akan terlihat apabila air di lubuk itu surut.
Sumber: http://mamas86.wordpress.com/2008/07/24/cerita-rakyat-daerah-jambi-lubuk-bujang-gadis/

Gadis Berambut Panjang

Dongeng Nusantara I Cerita Rakyat I Cerita Daerah I Asal Usul

Gadis berambut panjang adalah cerita yang berasal dari Desa Air Liki, Dusun Renah Kepayang, Kecamatan Tabir Ulu, Kabupaten Merangin. Cerita ini juga sudah berkembang di daerah lain di Kabupaten Merangin. Bukti fisik berupa rambut panjang tersebut masih dapat ditemukan hingga sekarang. Rambut ini disimpan dan dirawat oleh Rosdiana, keturunan ke sembilan dari pemilik asli rambut panjang tersebut. Rambut itu sendiri sendiri memiliki panjang ±2.5 meter. Rambut panjang tersebut berbentuk jalinan dan besarnya ± dua jari orang dewasa. Pada bagian ujung rambut tersebut terbentuk sebuah rongga. Menurut ahli waris, rongga tersebut merupakan tempat bersarangnya seekor lipan putih penjaga Si Kusuk. Keunikan lain dari rambut tersebut ialah tidak diketahuinya bagian awal dan akhir jalinan rambut tersebut. Namun, bagian pangkal dan ujung rambut masih dapat diketahui. Bagi keturunan Si Kusuk, rambut tersebut juga dinamakan dengan Sarang Tampuo.

Pemilik rambut panjang tersebut bernama Si Kusuk. Ia berasal dari daerah Muaro Lolo, Kabupaten Kerinci. Ia adalah seorang perempuan yang unik. Selain berciri fisik seperti laki-laki, yakni bertubuh tinggi besar, Si Kusuk hanya mempunyai satu buah payudara yang terletak di bagian tengah dadanya. Rambut panjang Si Kusuk hanya tumbuh di bagian ubun-ubunnya. Sementara pada bagian kepala yang lain hanya ditumbuhi oleh rambut layaknya pada manusia biasa. Konon, rambut itulah sumber kesaktiannya. Rambut yang panjang tersebut digulung dan dikonde. Untuk penguncinya, tusuk konde, ia menggunakan sebuah pisau. Si Kusuk berangkat dari Muaro Lolo dengan membawa enam orang pengawal. Keenam pengawalnya tidak mengetahui bahwa Si Kusuk sebenarnya adalah seorang perempuan. Sebaliknya, mereka menyangka bahwa tuan mereka adalah seorang laki-laki. Sesampainya di Desa Air Liki, Si Kusuk memutuskan untuk berdiam di sana.

Pada malam harinya, Si Kusuk mengadakan pertemuan dengan keenam pengawalnya. Ia ingin mengetahu tingkatan usia mereka. Setelah diketahui, akhirnya Si Kusuk membeberkan jati dirinya yang sebenarnya. Setelah itu, ia menyampaikan niatnya untuk menikahi pengawalnya yang berusia paling tua. Dan mereka pun menikah.

Pada malam setelah pernikahan mereka sudah tidur bersama dalam satu kamar. Akan tetapi, pagi harinya diketahui ternyata suami Si Kusuk sudah meninggal dunia. Setelah dikuburkan, Si Kusuk menikah lagi dengan pengawalnya yang tersisa yang usianya paling tua di antara mereka. Akan tetapi, kejadian serupa suami yang pertama terjadi lagi. Suami ke dua Si Kusuk ditemukan meninggal pada pagi setelah hari pernikahan. Hal itu terus berulang hingga lima dari enam orang pengawal Si Kusuk telah meninggal setelah dinikahinya.

Sampailah akhirnya giliran pengawalnya yang terakhir. Akhirnya mereka pun menikah. Pengawal Si Kusuk yang terakhir ini sudah menyimpan kecurigaan tentang peristiwa kematian kelima kawan-kawannya yang sebelumnya dinikahi oleh Si Kusuk.

Pada malam hari setelah menikah, ia tidak langsung masuk ke kamar. Ia pura-pura bekerja menganyam, membuat lukah dari rotan. Ketika Si Kusuk sudah tidur, ia pun menuju kamar. Sesampai di dalam kamar, ia melihat ada seekor lipan putih yang menjalar di badan Si Kusuk. Ia pun segera mengambil kayu untuk membunuh lipan tersebut. Namun, sesaat sebelum dipukul Si Kusuk bangun dan langsung melarangnya membunuh lipan tersebut. Sebagai gantinya, Si Kusuk memberikan obat penawar apabila digigit oleh lipan tersebut. Atas permintaan Si Kusuk, suaminya tidak jadi membunuh lipan tersebut. Akhirnya, mereka pun berhasil memperoleh keturunan. Hingga suatu saat Si Kusuk merasa bahwa waktunya di dunia ini sudah berakhir, ia pun mengumpulkan anggota keluarganya dan menjelaskan perihal tersebut. Sebelum meninggal, ia memotong sendiri rambut yang panjang tersebut karena memang hanya dia yang bisa memotong rambut tersebut. Setelah rambut itu dipotong barulah ia meninggal dunia.

Setelah Si Kusuk meninggal, rambut sekaligus pisau yang digunakan sebagai penguncinya disimpan oleh keluarganya di dalam sebuah kotak dan diletakkan di bubungan bagian atas rumah. Setiap lebaran Idulfitri, keluarga Si Kusuk membersihkannya dengan cara dilimaukan, yaitu mencucinya dengan menggunakan beberapa jenis kembang yang dicampur dengan jeruk nipis.

Ada beberapa kejadian unik yang dialami oleh keturunan Si Kusuk sehubungan dengan rambut tersebut. Di dekat rumah mereka ada pohon durian yang hampir jatuh. Melihat kemiringannya, apabila pohon tersebut jatuh niscaya menimpa rumah mereka. Akhirnya mereka bersepakat untuk mengeluarkan seluruh isi rumah agar tidak hancur tertipa runtuhan pohohn. Namun, rambut panjang tetap ditinggalkan di rumah tersebut. Alasan mereka meninggalkan rambut tersebut adalah sebagai sebuah pengujian apakah rambut tersebut juga memiliki kesaktian meskipun pemiliknya sudah meninggal. Ternyata memang muncul sebuah keanehan, pohon durian yang semula dipastikan bakal menimpa rumah tersebut ternyata jatuhnya tidak mengenai rumah tersebut. Keanehan lain dari rambut tersebut adalah ketika rambut tersebut dipamerkan dalam ajang pameran di Kota Jambi. Ternyata kakak Pak Said, seorang keturunan Si Kusuk, orang yang membawa rambut tersebut, jatuh sakit dan akhirnya meninggal dengan penyakit yang tidak diketahui. Menurut Pak Said, korban meninggal dengan kondisi seluruh tubuh membengkak. Sementara itu, orang yang satu lagi mengalami kelainan jiwa, namun akhirnya berhasil diobati oleh paranormal.paranormal tersebut mengatakan bahwa penyebab keadaan orang tersebut adalah akibat membawa untuk memamerkan rambut tersebut tanpa disetujui secara ikhlas oleh seluruh keturunan Si Kusuk.

Pisau yang digunakan sebagai pasak rambut panjang itu juga memiliki keanehan. Pernah suatu kali pisau tersebut dijual oleh salah seorang anggota keluarga. Namun, tidak berapa lama pisau tersebut sudah ditemukan kembali di dalam peti tempat rambut panjang itu disimpan. Keanehan lain adalah pada saat seorang lagi keturunan Si Kusuk tertarik untuk memakai pisau tersebut. Maka ia membuatkan sarung untuk pisau tersebut lengkap dengan kopelnya untuk dililitkan di pinggang. Namun, tidak berapa lama setelah pisau itu dibawa, bagian pinggang orang tersebut terkena penyakit semacam koreng yang menyebabkan ia meninggal dunia. Keanehan ketiga yang mereka alami sehubungan dengan pisau tersebut adalah saat Pak Said mengantarkan kakaknya menemui penghulu kampung. Kakaknya tersebut sedang berada dalam masalah karena telah melarikan anak gadis orang untuk diajak menikah sehingga keluarga dan kerabat gadis tersebut berniat mencari dan mencelakakan kakaknya. Namun, Pak Said memberanikan diri membantu kakaknya untuk menyelesaikan masalah tersebut. Sebelum berangkat ia tidak lupa membawa pisau tersebut. Selama diperjalanan, ternyata mereka tidak berhasil ditemukan oleh orang yang mencari kakaknya dan meskipun jalan yang mereka lalui banyak terdapat serangga, namun mereka tidak digigit oleh seekor serangga pun.

Sumber: yayasanlangit.blogspot.com

Asal Usul Raja Negeri Jambi

Dongeng Nusantara I Cerita Rakyat I Cerita Daerah I Asal Usul
Pada zaman dahulu, wilayah Negeri Jambi terdiri dari lima buah desa dan belum memiliki seorang raja. Desa tersebut adalah Tujuh Koto, Sembilan Koto, Petajin, Muaro Sebo, dan Batin Duo Belas. Dari kelima desa tersebut, Desa Batin Duo Belaslah yang paling berpengaruh.

Semakin hari penduduk kelima desa tersebut semakin ramai dan kebutuhan hidup mereka pun semakin berkembang. Melihat perkembangan itu, maka muncullah suatu pemikiran di antara mereka bahwa hidup harus lebih teratur, harus ada seorang raja yang mampu memimpin dan mempersatukan mereka. Untuk itu, para sesepuh dari setiap desa berkumpul di Desa Batin Duo Belas yang terletak di kaki Bukit Siguntang (sekarang Dusun Mukomuko) untuk bermusyawarah.

”Sebelum kita memilih seorang raja di antara kita, bagaimana kalau terlebih dahulu kita tentukan kriteria raja yang akan kita pilih. Menurut kalian, apa kriteria raja yang baik itu?” tanya sesepuh dari Desa Batin Duo Belas membuka pembicaraan dalam pertemuan tersebut.

”Menurut saya, seorang raja harus memiliki kelebihan di antara kita,” jawab sesepuh dari Desa Tujuh Koto.

”Ya, Benar! Seorang raja harus lebih kuat, baik lahir maupun batin,” tambah sesepuh dari Desa Petajin.

”Saya sepakat dengan pendapat itu. Kita harus memilih raja yang disegani dan dihormati,” sahut sesepuh dari Desa Muaro Sebo.

”Apakah kalian semua setuju dengan pendapat tersebut?” tanya sesepuh dari Desa Batin Duo Belas.

”Setuju!” jawab peserta rapat serentak.

Akhirnya, mereka bersepakat tentang kriteria raja yang akan mereka pilih, yakni harus memiliki kelebihan di antara mereka.

”Tapi, bagaimana kita dapat mengetahui kelebihan masing-masing di antara kita?” tanya sesepuh dari Desa Sembilan Koto.

”Kalau begitu, setiap calon pemimpin harus kita uji kemampuannya,” jawab sesepuh Desa Batin Duo Belas.

”Bagaimana caranya?” tanya sesepuh Desa Petajin penasaran.

”Setiap calon harus melalui empat ujian, yaitu dibakar, direndam di dalam air mendidih selama tujuh jam, dijadikan peluru meriam dan ditembakkan, dan digiling dengan kilang besi. Siapa pun yang berhasil melalui ujian tersebut, maka dialah yang berhak menjadi raja. Apakah kalian setuju?” tanya sesepuh Desa Batin Duo Belas.

Semua peserta rapat setuju dan siap untuk mencari seorang calon raja. Mereka bersepakat untuk melaksanakan ujian tersebut dalam tiga hari kemudian di Desa Batin Duo Belas. Dengan penuh semangat, seluruh sesepuh kembali ke desa masing-masing untuk menunjuk salah seorang warganya untuk mewakili desa mereka dalam ujian tersebut. Tentunya masing-masing desa berharap memenangkan ujian tersebut. Oleh karena itu, mereka akan memilih warga yang dianggap paling sakti di antara mereka.

Waktu pelaksanaan ujian pun tiba. Semua warga dari kelima desa telah berkumpul di Desa Batin Duo Belas untuk menyaksikan lomba adu kesaktian yang mendebarkan itu. Setiap desa telah mempersiapkan wakilnya masing-masing. Sebelum perlombaan dimulai, peserta yang akan tampil pertama dan seterusnya diundi terlebih dahulu.

Setelah diundi, rupanya undian pertama jatuh kepada utusan dari Desa Sembilan Koto. Wakil desa itu pun masuk ke tengah gelanggang untuk diuji. Ia pun dibakar dengan api yang menyala-nyala, tapi tubuhnya tidak hangus dan tidak kepanasan. Ujian kedua, ia direndam di dalam air mendidih, namun tubuhnya tidak melepuh sedikit pun. Ujian ketiga, ia dimasukkan ke dalam mulut meriam lalu disulut dengan api dan ditembakkan. Ia pun terpental dan jatuh beberapa depa. Ia segera bangun dan langsung berdiri tegak seperti tidak terjadi apa-apa. Seluruh penonton kagum menyaksikan kehebatan wakil dari Desa Sembilan Koto itu.

Ketika memasuki ujian terakhir, tiba-tiba suasana menjadi hening. Seluruh penonton menjadi tegang, karena ujian yang terakhir ini adalah ujian yang paling berat. Jika kesaktian wakil dari Desa Sembilan Koto itu kurang ampuh, maka seluruh tulangnya akan hancur dan remuk. Ternyata benar, belum sempat penggilingan itu menggiling seluruh tubuhnya, orang itu sudah meraung kesakitan, karena tulang-tulangnya hancur dan remuk. Penggilingan pun segera dihentikan. Wakil dari Desa Sembilan Koto itu dinyatakan tidak lulus ujian dan gagal menjadi raja Jambi.

Ujian berikutnya jatuh kepada wakil dari Desa Tujuh Koto.

”Wakil dari Desa Tujuh Koto dipersilahkan untuk memasuki gelanggang,” kata salah seorang panitia mempersilahkan.

Setelah beberapa saat menunggu, wakil dari Desa Tujuh Koto belum juga maju.

”Mana wakil dari Desa Tujuh Koto? Ayo, maju!” seru salah seorang panitia.

“Kalau tidak berani, lebih baik mundur saja!” tambahnya.

Merasa dilecehkan oleh panitia, calon dari Desa Tujuh Koto pun segera maju.

“Siapa takut? Kami dari Desa Tujuh Koto dak kenal kato undur, dak kenal kato menyerah!” seru wakil Desa Tujuh Koto itu dengan nada menantang.

Calon raja dari Desa Tujuh Koto pun diuji. Ia berhasil melalui ujian pertama hingga ujian ketiga. Namun, ia gagal pada ujian keempat. Akhirnya, ia pun gagal menjadi raja Jambi.

Ujian berikutnya dihadapi oleh wakil dari Desa Batin Duo Belas, kemudian diikuti oleh Desa Petajin dan Muaro Sebo. Namun, wakil dari ketiga desa tersebut semuanya gagal melalui ujian keempat, yakni digiling dengan kilang besi. Oleh karena semua wakil dari kelima desa tersebut gagal melalui ujian, maka mereka pun kembali mengadakan musyawarah.

“Bagaimana kalau kita mencari calon raja Jambi dari negeri lain?” usul sesepuh dari Desa Batin Duo Belas.

Usulan tersebut diterima oleh peserta rapat lainnya. Selanjutnya mereka mengutus dua wakil dari setiap desa untuk pergi mencari calon raja. Keesokan harinya, rombongan itu berangkat meninggalkan Negeri Jambi menuju ke negeri-negeri di sekitarnya. Di setiap negeri yang disinggahi, mereka menanyakan siapa yang bersedia menjadi raja Jambi dan tidak lupa pula mereka menyebutkan persyaratannya, yaitu harus mengikuti keempat ujian tersebut.

Sudah berpuluh-puluh negeri mereka singgahi, namun belum menemukan seorang pun yang bersedia menjadi raja Jambi, karena tidak sanggup menjalani keempat ujian tersebut. Rombongan itu pun kembali mengadakan musyawarah.

”Kita kembali saja ke Negeri Jambi. Mustahil ada orang yang mampu memenuhi syarat itu untuk menjadi raja Jambi,” keluh wakil Desa Petijan.

”Sabar, Saudara! Kita jangan cepat putus asa. Kita memang belum menemukan calon raja Jambi di beberapa negeri yang dekat ini. Tetapi, saya yakin bahwa di negeri jauh sana kita akan menemukan orang yang kita cari,” kata wakil Desa Muaro Sebo.

”Apa maksudmu?” tanya wakil Desa Petijan penasaran.

”Kita harus mengarungi samudera yang luas itu,” jawab wakil Desa Muaro Sebo dengan tenang.

”Kami setuju!” sahut wakil dari Desa Batin Duo Belas, Tujuh Koto, dan Sembilan Koto.

”Kalau begitu, kami juga setuju,” kata wakil Desa Petijan.

Akhirnya, rombongan itu bertekat untuk mengarungi samudera di ujung Pulau Sumatra. Setelah mempersiapkan segala keperluan, berangkatlah rombongan itu dengan menggunakan dendang (perahu besar). Setelah berhari-hari diombang-ambing oleh gelombang laut di tengah samudera yang luas itu, mereka pun tiba di Negeri Keling (India). Mereka berkeliling di Negeri Keling yang luas itu untuk mencari orang yang bersedia menjadi Raja Negeri Jambi dengan ujian yang telah mereka tentukan. Semua orang yang mereka temui belum ada yang sanggup menjalani ujian berat itu.

Pada suatu hari, mereka mendengar kabar bahwa di sebuah kampung di Negeri Keling, ada seseorang yang terkenal memiliki kesaktian yang tinggi. Akhirnya, mereka pun menemui orang sakti itu.

”Permisi, Tuan! Kami adalah utusan dari Negeri Jambi. Negeri kami sedang mencari seorang raja yang akan memimpin negeri kami, tapi dengan syarat harus lulus ujian. Apakah Tuan bersedia?” tanya salah seorang dari rombongan itu sambil menceritakan ujian yang harus dijalani calon raja itu.

”Saya sanggup menjalani ujian itu,” jawab orang itu.

Rombongan itu segera membawa calon raja itu pulang ke Negeri Jambi. Setelah menempuh perjalanan selama berminggu-minggu, tibalah mereka di Negeri Jambi. Orang sakti itu disambut gembira oleh rakyat Jambi. Mereka berharap bahwa calon yang datang dari seberang lautan itu benar-benar orang yang sakti, sehingga lulus dalam ujian itu dan menjadi raja mereka.

Keesokan harinya, orang sakti itu pun diuji. Seperti halnya calon-calon raja sebelumnya, orang sakti itu pertama-tama dibakar dengan api yang menyala-nyala. Orang Keling itu benar-benar sakti, tubuhnya tidak hangus, bahkan tidak satu pun bulu romanya yang terbakar. Setelah diuji dengan ujian kedua dan ketiga, orang itu tetap tidak apa-apa. Terakhir, orang itu akan menghadapi ujian yang paling berat, yang tidak sanggup dilalui oleh calon-calon raja sebelumnya, yaitu digiling dengan kilang besi yang besar. Pada saat ujian terakhir itu akan dimulai, suasana menjadi hening. Penduduk yang menyaksikan menahan napas. Dalam hati mereka ada yang menduga bahwa seluruh tubuh orang itu akan hancur dan remuk.

Ini adalah saat-saat yang mendebarkan. Ujian terakhir itu pun dimulai. Pertama-tama, kedua ujung jari-jari kaki orang Keling itu dimasukkan ke dalam kilang besi. Kilang mulai diputar dan sedikit demi sedikit tubuh orang Keling itu bergerak maju tertarik kilang besi yang berputar. Semua penduduk yang menyaksikannya menutup mata. Mereka tidak sanggup melihat tubuh orang Keling itu remuk. Namun apa yang terjadi? Mereka yang sedang menutup mata tidak mendengarkan suara jeritan sedikit pun. Tetapi justru suara ledakan dahsyatlah yang mereka dengarkan. Mereka sangat terkejut saat membuka mata, kilang besi yang besar itu hancur berkeping-keping, sedangkan orang Keling itu tetap tidak apa-apa, bahkan ia tersenyum sambil bertepuk tangan. Penduduk yang semula tegang ikut bergembira, karena berhasil menemukan raja yang akan memimpin mereka.

Seluruh penduduk dari Desa Tujuh Koto, Sembilan Koto, Muaro Sebo, Petajin, dan Batin Duo Belas segera mempersiapkan segala keperluan untuk membangun sebuah istana yang bagus. Selain itu, mereka juga mempersiapkan bahan makanan untuk mengadakan pesta besar-besaran untuk meresmikan penobatan Raja Negeri Jambi. Beberapa bulan kemudian, berkat kerja keras seluruh warga, berdirilah sebuah istana yang indah dan orang Keling itu pun dinobatkan menjadi raja Jambi.
Sumber: http://mamas86.wordpress.com/2008/07/25/cerita-rakyat-daerah-jambi-asal-usul-raja-negeri-jambi/

Mitos Air Hitam dan Air Jernih

Dongeng Nusantara I Cerita Rakyat I Cerita Daerah I Asal Usul

Daerah Air Hitam di Kabupaten Sarolangun terkenal memiliki banyak cerita mitos. Salah satu mitos yang cukup terkenal adalah asal usul penamaan desa Air Hitam dan desa Jernih. Menurut cerita, dahulunya orang-orang Suku Anak Dalam (SAD), yang lebih dikenal dengan Suku Kubu, pernah memperdebatkan tentang air kopi dan air bening. Menurut sebagian masyarakatnya, jika ditimbang, maka air kopi akan lebih berat dari air bening. Sebagian lagi mengatakan bahwa air bening lebih berat dari air kopi. Agar tidak ada lagi pertentangan, maka diadakanlah pembuktian tentang hal tersebut dengan cara menimbangnya.

Penimbangan tersebut dilakukan oleh Datuk Temenggung Merah Mato di puncak Bukit Duabelas yang disaksikan oleh penghulu-penghulu dan dubalang-dubalang Suku Kubu. Yang ditimbang pertama kali adalah masing-masing gelas tempat air kopi dan air bening itu akan dituang. Berat kedua gelas tersebut ternyata seimbang. Kemudian air kopi dan air bening tadi dimasukkan ke dalam gelas-gelas tersebut. Ternyata kedua air itu juga memiliki berat yang sama.

Melihat kejadian itu, Datuk Temenggung Merah Mato menyatakan bahwa air kopi dan air bening memiliki berat yang sama. Namun, tidak lama kemudian, tiba-tiba datang angin yang sangat kencang dan menggoyang timbangan yang dipegang oleh Datuk Temenggung Merah Mato. Gelas yang berisi air bening terpelanting dan jatuh di desa Jernih. Sedangkan gelas yang berisi air kopi terpental ke arah Bukit Suban yang ada di muara desa Air Hitam.

Maka sejak saat itu masyarakat Suku Kubu mempercayai bahwa nama desa Air Hitam dan desa Jernih berasal dari air kopi dan air bening yang ditimbang oleh Datuk Temenggung Merah Mato di puncak Bukit Duabelas.

Sumber: yayasanlangit.blogspot.com

Datuk Kerungkung Bebulu

Dongeng Nusantara I Cerita Rakyat I Cerita Daerah I Asal Usul
Cerita Datuk Kerungkung Bebulu erat kaitannya dengan legenda terjadinya Bukit Siguntang. Datuk ini bernama lengkap Datuk Baju Merah Kerungkung Bebulu. Gelar baju merah karena setiap kali berperang bajunya selalu memerah oleh percikan darah lawan-lawannya. Disebut kerungkung bebulu, karena ketika dilahirkan kerungkungnya ditumbuhi bulu.

Awal kisah bermula dari Sang Raja Negeri Selado Sumai yang kehilangan pedang pusaka warisan leluhur bernama Surik Meriang Sakti Sumbing Sembilan Puluh Sembilan. Entah di mana rimbanya dan tidak mengetahui siapa yang mencurinya, diperintahkanlah Datuk Kerungkung Bebulu yang sakti tiada tanding di kerajaan Salado Sumai untuk mencari pedang tersebut.

Perintah dijalankan, tanpa takut dan gentar. Seorang diri menjelajahi rimba dan kembah gunung. Di suatu goa batu yang kelam dan dingin, Datuk Kerungkung Bebulu merayap menyusup di kegelapan goa. Sampai di ujung goa di atas sebuah batu papak duduk sesosok orang tua yang komat kamit membaca rapalan. Dari lubang di atas sang pertapa menyorot cahaya matahari bak lampu fokus dan sinartersebut menerpa sebilah pedang pusaka kerajaan yang hilang dan kini sudah dipangkuan Datuk Panglimo Tahan Akik asal Ranah Pagaruyung.

Singkat cerita terjadilah perebutan yang dahsyat, saling tendang, saling hempas menghempas. Tujuh hari berturut-turut perkelahian berlangsung tanpa ada tanda-tanda kalah atau menang dari kedua belah pihak. Setiap malam mendatang sampai terbit matahari mereka seolah sepakat digunakan beristirahat memulihkan kekuatan untuk melanjutkan pertarungan. Masa istirahat digunakan keduanya mencari dedaun dan apa saja yang dapat dimakannya setelah itu keduanya sama-sama beritirahat terlelap dalam kegelapan dinding goa.

Hari ketujuh medan lag beralih ke luar goa. Maka bertumbangan pohon terlibas baku hantam. Rata tanah tercukur babatan dan injakan kaki dua manusia yang berlaga mati-matian. Pada suatu kesempatan sekelebat mata Datuk Karungkung Bebulu berhasil menangkap kaki Datuk Panglimo Tahan Takik dan menghempaskannya. Bedegam bunyinya, bergetar bumi bak gempa dan terlepaslah pedang Surik Meriang Sakti Sumbing Sembilan Puluh Sembilan dari pegangan dan mental melayang ke udara. Kesempatan yang berharga itu dimanfaatkan dan melayanglah Datuk Karungkung Bebulu menangkap pedang pusaka kerajaan Selado Sumai. Kemudian melesat meninggalkan medan laga. Tak hayal Datuk Panglimo Tahan Takik melesat pula. Saling berkejar-kejaran menampilkan ilmu lari cpat dan kelihatan kelit berkelit disela semak dan pepohonan. Binatang rimba berserabutan ketakutan. Tujuh lurah tujuh pematang telah mereka lalui. Di suatu ceruk sempit mereka terhenti, karena dihadapannya ternganga mulut seekor ular raksasa siap menelan apapun.

Entah siapa yang memulai, didapat kesepakatan siapa yang sanggup membunuh ular itu, dialah yang berhak atas pedang Surik Meriang Sakti Sumbing Sembilan Puluh Sembilan.
Kesempatan pertama dilakukan oleh Panglimo Tahan Takik. Dengan sebilah keris panjang ditikamnya sekuat tenaga tubuh ular raksasa itu. Berdencing memekakan telinga. Keris itu bengkok dan patah karena beradu dengan kulit ular yang keras itu. Sang ular tak bergeming dan tak cidera sedikitpun. Tangan Panglimo Tahan Takik membengkak. Sendi-sendi pergelangan, siku dan bahunya terasa nyeri. Terangsang oleh gelak tawa Datuk Kerungkng Bebulu dengan hawa marah meledak-ledak Panglimo Tahan Takik menghunus keris pendek dari pinggangnya dan melesat kembali menghantam badan ular besar yang mengerikan itu. Berkali-kali terlihat percikan api disela keplan debu yang berterbangan. Akhirnya Panglimo Tahan Takik luruh bersimbah keringat. Tak jauh dihadapannya ular raksasa siap melahap sambil melilitkan lidah merah bercabangnya. Dengan langkah tegap penuh keyakinan Datu Kerungkung Bebulu berjalan sampai dihadapan ular raksasa. Mata merahnya mendelik seram menatao sang datuk yang berani mati berdiri beberapa depa di depan juluran lidahnya.

Sambil menghunus pedang pusaka kerajaan yang berhasil direbutnya dari Panglimo Tahan Takik, Datuk Kerungkung Bebulu menjulangkannya di atas kepala sambil melapal mantra-mantra sakti. Bersamaan dengan gelegar yang membahana dan kilat putih kebiruan keluar dari ujung senjata pusaka milik kerajaan Selado Sumai, melesat bayangan ke arah sang ular meliuk dan melilit tubuh raksasa yang tak sempat mengelak atau bergerak. Sebuah raungan menggeledek dan Datuk Karungkung Bebulu melihat ke arah ular yang berdebam bak gunung runtuh, tubuh ular raksasa menghantam bumi. Tubuhnya terkupas terpotong tiga. Bagian kepala menuju ke arah Panglimo Tahan Takik dan bagian ekornya seperti bernyawa meliuk ke arah Datuk Karungkung Bebulu.

Dengan sisa tenaga yang ada serta berselaput hawa marah dan kecewa yang amat sangat. Bagian kepala ular raksasa ditendang melambung ke udara dan lenyap dari pemandangan. Konon bagian kepala itu jatuh di Ngarai Si Anok dan mental kembali teronggok dua yang kemudian menjadi gunung Merapi dan Singgalang. Bagian ekornya yang melesat, ditangkap dan dibaling-balingkan kemudian dilemparkan jauh ke angkasa dan jatuh ke negeri Palembang mejelma menjadi Bukit Siguntang-guntang. Sedangkan bagian perutnya yang tertinggal di tempat itu dibiarkan dan akhirnya menjelma menjadi Bukit Siguntang. Kata-kata guntang dalam bahasa Sansekerta berarti terlindung atau pelampung pada pancing. Bisa juga kemungkinan guntang mengalami perubahan lafal dari kata buntang = bangkai, yakni bangkai/buntangnya ular raksasa. Berkat tekad dan kegigihan Datuk Karungkung Bebulu maka terlindunglah negeri Selado Sumai dari penjarahan Panglimo Tahan Takik dan amukan ular besar. Tak pelak lagi lingkungan Bukit Seguntang merupakan wilayah yang ideal bagi wisata paranormal karena menyimpan misteri magis.

Mitos tentang tokoh Datuk Kerungkung Bebulu ini merupakan salah satu cerita rakyat Jambi yang ada di daerah Kabupaten Tebo. Tokoh Datuk Karungkung Bebulu dipercaya masyarakat karena di daerah tersebut terdapat makam Datuk Kerungkung Bebulu. Dari tokoh mitos inilah kemudian muncul legenda tentang Bukit Siguntang. Oleh Junaidi T. Noor, mitos ini kemudian dituliskan dalam sebuah buku Geografi Pariwisata Kabupaten Bungo Tebo (1999) yang diterbitkan oleh Pemerintah Kabupaten Dati II Bungo Tebo (pada waktu itu Bungo Tebo masih dalam satu kabupaten. Pada tahun 2000, otonomi daerah menyebabkan kabupaten itu terpisah menjadi dua kabupaten, yaitu kabupaten Bungo dan kabupaten Tebo.

Sumber: yayasanlangit.blogspot.com

Dideng Dang Ayu

Dongeng Nusantara I Cerita Rakyat I Cerita Daerah I Asal Usul

Dahulu kala ada seorang raja bergelar Pasak Kancing. Ia dikarunia dua orang anak, seorang putra dan seorang putri. Oleh duka kematian permaisuri, keadaan kerajaan menjadi kacau balautak terurus, termasuklah dua putra raja bak yatim piatu. Masa remajanya terlunta karena sang ayah tak tentu rimbanya. Pembesar dan orang-orang istana sudah tak peduli pada raja dan anaknya. Bisa jadi karena tampuk kekuasaan sudah lengser dan lengsernya bukan atas garis keturunan, maka putus pulalah ikatan kekuasaan. Atau oleh tidakan kop tak berdarah terjadi perpindahan penguasa.

Sang putra raja tiada tahan menanggung beban tinggal di istana. Pamitlah ia dengan adinda putri untuk merantau menguak nasib menisik rezeki ke negeri orang. Tak ada kata yang dapat manampung kepiluan sang adik mengiringi kepergian kakak tercinta. Terban bumi terpijak, teserpih harapan untuk mendayung derita berdua.

Sebelum berpisah, kakak beradik membuat janji bila keduanya mempunyai keturunan, maka keduanya akan membuhul sebuah perkawinan.

Sang kakak merantau ke negeri Pusat Jala dan kemudian menjadi raja di sana. Dari perkawinannya lahirlah seorang putra yang diberi nama Dang Bujang. Sementara adik perempuannya yang tinggal di Pasak Kancing memperoleh seorang anak perempuan bernama Putri Dayang Ayu.

Garis kehidupan kedua anak manusia itu jauh berbeda. Dang Bujang hidup sebagai anak raja, sedangkan Putri Dayang Ayu bak bumi dengan langit, bak siang dengan malam. Putri Dayang Ayu hidup dalam kemiskinan, tapi mempunyai kecantikan bak bidadari dari khayangan.

Menginjak dewasa, Dang Bujang dinobatkan sebagai putra mahkota. Acara penobatan sangat meriah. Sebuah pesta besar digelar. Semua pangeran dan putri-putri dalam negeri dan negeri-negeri sekitar kerajaan Pusat Jala ikut memeriahkan pesta penobatan itu.

Raja Pusat Jalo teringat akan janjinya, maka diundanglah Putri Dayang Ayu dan ibunya. Maksud hati sang raja akan mengumumkan pertunangan Dang Bujang dengan Putri Dayang Ayu.
Tanpa iringan kebesaran dan pakaian gemerlapan datanglah Putri Dayang Ayu dan ibunya. Malangnya sang nasib, hulubalang penjaga menahan di gerbang, dikiranya pengemis menadah sedekah. Baju compang camping akan menurunkan derajat pesta penobatan, pikir sang hulubalang. Peristiwa di pintu gerbang menarik perhatian. Hampir seluruh peserta pesta keluar. Mereka terlena dan terkagum akan pancaran kecantikan Putri Dayang Ayu karena berbungkus baju lusuh dan compang camping. Dang Bujang yang sedang menari dengan seorang putri pilihannya sepi sendiri di tengah arena. Tak pelak lagi Dang Bujang merasa dihinakan. Tanpa tahu siapa yang datang dari anjungan istana Dang Bujang mengusir Putri Dayang Ayu dan ibunya dengan kata-kata yang terlalu menusuk hati.
Merasa dihinakan tiada tara, dengan hati teramat kecewa dan keperihan yang dalam, pulanglah Putri Dayang Ayu dan ibunya kembali ke Pasak Kancing.

Demonilah ado meh di tanjung
Karinak menjadi laro kain
Demonilah ado meh di kandang
Sanaklah menjadi orang lain

Arolah kain buekkan dinding
Buekkan dinding balai melintang
Uranglah lain kau tunjukkan runding
Lah nan sanak kau biakkan hilang

Dengan hati lara dan putus asa Putri Dayang Ayu melangkah lunglai.

Bahuma talang penyanit
Dapatlah padi di tangkai lebat
Manolah tanggo jalan ke langit
Duduk di bumi salahlah sukat

Betapa murkanya sang Raja Pusat Jalo mendengar perlakuan Dang Bujang terhadap Putri Dayang Ayu dan ibunya, “Kejar mereka dan kau tak kuizinkan kembali ke istana ini tanpa membawa Putri Dayang Ayu.” Demikianlah titah sang raja pada putra mahkota, Dang Bujang.
Dalam perjalanan keputus-asaannya, Putri Dayang Ayu tidak kembali ke Pasak Kancing karena ibunya wafat di perjalanan. Jadilah ia merambah hutan rimba seorang diri berteman satwa yang ikut mengiringi. Seekor punai menyarankan agar putri pergi ke Bukit Sekedu. Ia pun dinasehati oleh dua ekor kera untuk menemui Dewa Tua.

Pada penguasa Bukit Sekedu, Nenek Rabiyah Sang Dewa Tua, tertumpahkanlah segala keperihan duka lara sang putri. Tercengang nenek Rabiyah menyimak kepedihan dan keputus-asaan Putri Dayang Ayu.

Ngan mendaki Bukit Sekedu
Ngan menurun dipasi merang
Ngan menangih bertudung baju
Mengenang badanlah bejalan surang

Serailah seompun di tengah laman
Anaklah punai menganjur kaki
Tinggallah dusun tinggallah laman
Tinggal sereto tepian mandi

Berbagai nasehat pertimbangan sang Dewa Tua tak bisa lagi menyurutkan kehendak Putri Dayang Ayu untuk menyatu dengan alam. Alam masih ramah menerimanya. Atas bimbingan dan petunjuk nenek Rabiyah, Putri Dayang Ayu menuju telago larangan. Bergabunglah ia dengan delapan putri yang sedang mandi gembira ria, berkecimpung menyimbah riak telaga yang membiru. Selendang pemberian nenek Rabiyah melekat erat di tubuh putri Dayang Ayu, ketika tubuh semampai putri terlelap di air telaga, diiringi pernik-pernik warna pelangi.

Sementara itu, dengan berbagai rintangan onak dan duri, lembah dan bukit banyak dituruni dan didaki, sampailah Dang Bujang ke puncak Bukit Sekedu. Sesuai pesan bunda Putri Dayang Ayu dan isyarat satwa di rimba, bersualah Dang Bujang dengan nenek Rabiyah. Nenek Rabiyah cukup waskita, akan maksud pengembaraan Dang Bujang, maka disuruhnya Dang Bujang ke telaga larangan agar dapat bersua dengan putri adik sepupunya.

Gemercik air terjun di hulu telaga larangan telah menyembunyikan kehadiran Dang Bujang di sana. Dang Bujang bingung mendapati sembilan putri sedang asyik mandi. Selain sama cantiknya, Dang Bujang sendiri tidak tahu yang mana Putri Dayang Ayu, adik sepupu yang sedang dicarinya.
Sampai kesembilan bidadari menghilang bersama senja dan sinar pelangi di angkasa, Dang Bujang hanya terpana dan terpaku dalam rasa yang tak menentu. Kembali nenek Rabiyah ditemuinya. Pesan sang nenek, putri yang terakhir turun ke telaga, dialah Putri Dayang Ayu.

Keesokan harinya, dengan berbekal pancing pemberian nenek Rabiyah, Dang Bujang menanti di telaga. Dengan merapal ajian yang diajarkan nenek Rabiyah, dipancingnyalah selendang terungguk di sembulan batu. Bidadari yang sedang turun mandi tak satu pun menyadari bahwa salah satu selendangnya telah berada di pelukan Dang Bujang.

Betapa terkejut dan sedihnya Putri Dayang Ayu ditinggal sendiri karena tak lagi dapat terbang bersama dewi-dewi yang lain. Pupus tali dewa dewi dimainkan nasib peruntungan yang seorang pun tak ada yang tahu akhirnya. Tak ada pilihan, selain mengikuti bujukan dan paksaan Dang Bujang untuk kembali ke istana kerajaan Pusat Jalo.

Kendati pesta perkawinan Dang Bujang dengan Putri Dayang Ayu sangat meriah, tujuh hari tujuh malam perhelatan akbar digelar, tapi tak berhasil memupus kesedihan Putri Dayang Ayu. Gundah gulana selalu mewarnai wajah ayu sang putri. Kebahagiaan dunia tak memupus kerinduannya pada kebahagiaan alam dewa-dewi.

Berbagai tabib negeri telah berupaya mengobati sang putri yang semakin hari badannya menyusut bak api dalam sekam. Puncak kerinduan tiba pada saat Putri Dayang Ayu melahirkan. Belum habis masa nipasnya, dengan tubuh lunglai sang putri tegak di anjungan istana. Rasa keperihan yang berbungkus kerinduan telah menghantar doa sang putri ke singgasana Penguasa Alam.

Secara perlahan tubuh Putri Dayang Ayu terangkat melayang melewati jendela anjungan istana. Ada rasa kasih sayang terpancar dari matanya yang bening berkilau linangan air mata mendengar tangisan bayinya di pembaringan. Rasa inilah yang membuhul kesempurnaannya ke alam nirwana. Sang putri tak sepenuhnya menjelma menjadi dewi, tapi menjelma menjadi seekor elang dan terbang membumbung tinggi ke awan. Isak kepedihan hati dan kasih sayangnya pada anak yang ditinggalkannya terdengar sebagai kelik elang di angkasa. Orang selalu bercerita itulah jelmaan Putri Dayang Ayu yang sedang terbang membawa lara hatinya. Biasanya kelik itu terjadi sekitar menjelang tengah hari, disaat ia harus menyusui anaknya yang tak pernah lagi kesampaian.

Sumber: yayasanlangit.blogspot.com dan mamas86.wordpress.com


Datuk Darah Putih

Dongeng Nusantara I Cerita Rakyat I Cerita Daerah I Asal Usul
Mitos Datuk Darah Putih merupakan cerita tentang seorang panglima perang kerajaan yang ada di daerah dusun Sungai Aro, kabupaten Tebo, Jambi. Mitos tentang Datuk Darah Putih ini dipercayai oleh masyarakat dusun sungai Aro sebagai seorang panglima yang mempunyai darah berwarna putih bila mengalami luka ditubuhnya.

Cerita tentang Datuk Darah Putih disebutkan pada masa penjajahan Belanda ke daerah Sungai Aro. Raja sungai Aro merasa khawatir akan nasib rakyatnya yang terbelenggu rantai penjajahan. Bermusyawarahlah raja dengan para panglima untuk mengantisipasi berbagai kemungkinan serangan yang akan menimpa kerajaan. Keputusan raja bahwa gerakan Belanda harus dihadang di laut. Berdasarkan strategi tempat penghadangan adalah di Pulau Berhala. Tugas itu dibebankan pada Datuk Darah Putih. Perntah itu diterima dengan tegas walau saat itu istri Datuk Darah Putih sedang hamil tua. Perpisahan itu tanpa isak tangis sang istri. Istrinya tahu bahwa suaminya pergi berjuang untuk membela Jambi dari jajahan Belanda. Datuk Darah Putih dan seluruh anggota pasukan pilihan tersebut berjalan dengan gagah berselempan semangat dan kejantanan yang tinggi.

Sesampainya di Pulau Berhala Datuk Darah Putih dan pasukannya mendirikan benteng pertahanan mulai dari pantai sampai ke puncak bukit. Beberapa hari kemudian kapal pasukan Belanda datang ke Pulau Berhala untuk mengambil persediaan minum. Pada saat itulah serangan mendadak pasukan Datuk Darah Putih dilancarkan ke Belanda. Karena sama sekali tidak mengira serangan itu membuat Belanda kewalahan dan akhirnya kalah oleh pasukan Datuk Darah Putih. Seluruh isi kapal disita dan kapal Belanda dibakar.

Menjelang malam keempat setelah kemenangannya Datuk Darah Putih dan pasukannya kembali menghadang Belanda yang dating di tengah laut. Pertempuran pun berlangsung beberapa hari dan ternyata pihak Belanda jauh lebih besar dan kuat dalam persenjataan. Kekalahan dalam jumlah dan senjata yang akhirnya membuat pasukan Datuk Darah Putih kalah. Di pertempuran itu Datuk Darah Putih terpenggal kepalanya oleh pedang prajurit Belanda. Kapalnya pun hancur dan tenggelam ke laut. Dari urat leher yang terputus bersimbah darah berwarna putih masih terdengar suara Datuk Darah Putih yang memerintahkan anak buahnya untuk segera membawanya mundur sedangkan yang lain meneruskan perlawanan. Oleh anak buahnya, Datuk Darah Putih di bawa ke benteng pertahanan. Kemudian Datuk Darah Putih memerintahkan anak buahnya untuk mencari batu sengkalan (penggiling cabai) untuk menutup lukanya. Setelah menutup lukanya dengan batu sengkalan maka berhentilah darah yang mengalir. Seperti tidak mengalami kecelakaan, Datuk Darah Putih beserta anak buahnya kembali bergabung dengan anggota pasukannya. Ia mengamuk dan menghantam habis semua serdadu Belanda. Pertempuran akhirnya dimenangi oleh Belanda.

Esok harinya Datuk Darah Putih kembali ke Negeri Sungai Aro. Ketika sampai di Sungai Aro, ia dipapah menuju rumahnya dan ia tidak mampir menghadap raja terlebih dahulu. Rakyat ikut mengiringinya sampai ke anak tangga rumah. Sang istri telah menunggu dan telah melahirkan seorang putra. Melihat kondisi suaminya yang sudah tanpa kepala, ia tetap pasrah dan kepulangan itu juga tidak ditangisinya. Kemudian Datuk Darah Putih perlahan meraih bayi dalam buaian. Sang bayi diam terlelap dalam tidurnya dan dengan kedua tangan yang kokoh Datuk Darah Putih mendekap anaknya ke dadanya dan kembali meletakkannya di buaian. Orang-orang yang hadir tenggelam dalam keharuan dan melinangkan air mata melihat dan merasakan seolah-olah ada dialog perpisahan diantara ayah dan anak, diantara suami dan istri, diantara panglima dan anak buahnya. Datuk Darah Putih pelan-pelan tertunduk dan kemudian berbaring di dekat buaian anak tercinta, anak ang hanya dapat dirabanya dan didekapnya tana mengetahui bentuk dan rupanya. Bersamaan dengan suara zan ashar yang sayup-sayup sampai dari kejauhan, tubuh Datuk Darah Putih terbujur kaku tak bernafas lagi.

Mitos tentang Datuk Darah Putih ini merupakan salah satu cerita rakyat Jambi yang ada di daerah Kabupaten Tebo. Mitos ini kemudian dituliskan dalam sebuah buku Geografi Pariwisata Kabupaten Bungo Tebo (1999) oleh Junaidi T. Noor yang diterbitkan oleh Pemerintah Kabupaten Dati II Bungo Tebo (pada waktu itu Bungo Tebo masih dalam satu kabupaten. Pada tahun 2000, otonomi daerah menyebabkan kabupaten itu terpisah menjadi dua kabupaten, yaitu kabupaten Bungo dan kabupaten Tebo).

Sumber: yayasanlangit.blogspot.com

Legenda Ular n’Daung

Dongeng Nusantara I Cerita Rakyat I Cerita Daerah I Asal Usul

Dahulu kala, di kaki sebuah gunung di daerah Bengkulu hiduplah seorang wanita tua dengan tiga orang anaknya. Mereka sangat miskin dan hidup hanya dari penjualan hasil kebunnya yang sangat sempit. Pada suatu hari perempuan tua itu sakit keras.

Orang pintar di desanya itu meramalkan bahwa wanita itu akan tetap sakit apabila tidak diberikan obat khusus. Obatnya adalah daun-daunan hutan yang dimasak dengan bara gaib dari puncak gunung.

Alangkah sedihnya keluarga tersebut demi mengetahui kenyataan itu. Persoalannya adalah bara dari puncak gunung itu konon dijaga oleh seekor ular gaib. Menurut cerita penduduk desa itu, ular tersebut akan memangsa siapa saja yang mencoba mendekati puncak gunung itu.

Diantara ketiga anak perempuan ibu tua itu, hanya si bungsu yang menyanggupi persyaratan tersebut. Dengan perasaan takut ia mendaki gunung kediaman si Ular n’Daung. Benar seperti cerita orang, tempat kediaman ular ini sangatlah menyeramkan. Pohon-pohon sekitar gua itu besar dan berlumut. Daun-daunnya menutupi sinar matahari sehingga tempat tersebut menjadi temaram.

Belum habis rasa khawatir si Bungsu, tiba-tiba ia mendengar suara gemuruh dan raungan yang keras. Tanah bergetar. Inilah pertanda si Ular n’Daung mendekati gua kediamannya. Mata ular tersebut menyorot tajam dan lidahnya menjulur-julur. Dengan sangat ketakutan si Bungsu mendekatinya dan berkata, “Ular yang keramat, berilah saya sebutir bara gaib guna memasak obat untuk ibuku yang sakit. Tanpa diduga, ular itu menjawab dengan ramahnya, “bara itu akan kuberikan kalau engkau bersedia menjadi isteriku!”

Si Bungsu menduga bahwa perkataan ular ini hanyalah untuk mengujinya. Maka iapun menyanggupinya. Keesokan harinya setelah ia membawa bara api pulang, ia pun menepati janjinya pada Ular n’Daung. Ia kembali ke gua puncak gunung untuk diperisteri si ular.

Alangkah terkejutnya si bungsu menyaksikan kejadian ajaib. Yaitu, pada malam harinya, ternyata ular itu berubah menjadi seorang ksatria tampan bernama Pangeran Abdul Rahman Alamsjah.

Pada pagi harinya ia akan kembali menjadi ular. Hal itu disebabkan oleh karena ia disihir oleh pamannya menjadi ular. Pamannya tersebut menghendaki kedudukannya sebagai calon raja.

Setelah kepergian si bungsu, ibunya menjadi sehat dan hidup dengan kedua kakaknya yang sirik. Mereka ingin mengetahui apa yang terjadi dengan si Bungsu. Maka merekapun berangkat ke puncak gunung. Mereka tiba di sana diwaktu malam hari.

Alangkah kagetnya mereka ketika mereka mengintip bukan ular yang dilihatnya tetapi lelaki tampan. Timbul perasaan iri dalam diri mereka. Mereka ingin memfitnah adiknya.

Mereka mengendap ke dalam gua dan mencuri kulit ular itu. Mereka membakar kulit ular tersebut. Mereka mengira dengan demikian ksatria itu akan marah dan mengusir adiknya itu. Tetapi yang terjadi justru kebalikannya. Dengan dibakarnya kulit ular tersebut, secara tidak sengaja mereka membebaskan pangeran itu dari kutukan.

Ketika menemukan kulit ular itu terbakar, pangeran menjadi sangat gembira. Ia berlari dan memeluk si Bungsu. Di ceritakannya bahwa sihir pamannya itu akan sirna kalau ada orang yang secara suka rela membakar kulit ular itu.

Kemudian, si Ular n’Daung yang sudah selamanya menjadi Pangeran Alamsjah memboyong si Bungsu ke istananya. Pamannya yang jahat diusir dari istana. Si Bungsu pun kemudian mengajak keluarganya tinggal di istana. Tetapi dua kakaknya yang sirik menolak karena merasa malu akan perbuatannya.

Sumber: www.seasite.niu.edu

(Disarikan dari Abdul Hakim. Selusin Cerita Rakyat, CV Danau Singkarak, 1980)

Sigarlaki dan Limbat

Dongeng Nusantara I Cerita Rakyat I Cerita Daerah I Asal Usul

Pada jaman dahulu di Tondano hiduplah seorang pemburu perkasa yang bernama Sigarlaki. Ia sangat terkenal dengan keahliannya menombak. Tidak satupun sasaran yang luput dari tombakannya. Sigarlaki mempunyai seorang pelayan yang sangat setia yang bernama Limbat. Hampir semua pekerjaan yang diperintahkan oleh Sigarlaki dikerjakan dengan baik oleh Limbat. Meskipun terkenal sebagai pemburu yang handal, pada suatu hari mereka tidak berhasil memperoleh satu ekor binatang buruan. Kekesalannya akhirnya memuncak ketika Si Limbat melaporkan pada majikannya bahwa daging persediaan mereka di rumah sudah hilang dicuri orang.Tanpa pikir panjang, si Sigarlaki langsung menuduh pelayannya itu yang mencuri daging persediaan mereka. Si Limbat menjadi sangat terkejut. Tidak pernah diduga majikannya akan tega menuduh dirinya sebagai pencuri.Lalu Si Sigarlaki meminta Si Limbat untuk membuktikan bahwa bukan dia yang mencuri. Caranya adalah Sigarlaki akan menancapkan tombaknya ke dalam sebuah kolam. Bersamaan dengan itu Si Limbat disuruhnya menyelam. Bila tombak itu lebih dahulu keluar dari kolam berarti Si Limbat tidak mencuri. Apabila Si Limbat yang keluar dari kolam terlebih dahulu maka terbukti ia yang mencuri.Syarat yang aneh itu membuat Si Limbat ketakutan. Tetapi bagaimanapun juga ia berkehendak untuk membuktikan dirinya bersih. Lalu ia pun menyelam bersamaan dengan Sigarlaki menancapkan tombaknya.Baru saja menancapkan tombaknya, tiba-tiba Sigarlaki melihat ada seekor babi hutan minum di kolam. Dengan segera ia mengangkat tombaknya dan dilemparkannya ke arah babi hutan itu. Tetapi tombakan itu luput. Dengan demikian seharusnya Si Sigarlaki sudah kalah dengan Si Limbat. Tetapi ia meminta agar pembuktian itu diulang lagi.Dengan berat hati Si Limbat pun akhirnya mengikuti perintah majikannya. Baru saja menancapkan tombaknya di kolam, tiba-tiba kaki Sigarlaki digigit oleh seekor kepiting besar. Dia menjerit kesakitan dan tidak sengaja mengangkat tombaknya. Dengan demikian akhirnya Si Limbat yang menang. Ia berhasil membuktikan dirinya tidak mencuri. Sedangkan Sigarlaki karena sembarangan menuduh, terkena hukuman digigit kepiting besar.

Sumber www.seasite.niu.edu