Peluang Bisnis untuk Anda

Saturday, November 7, 2009

Putri Bungsu

Ada sebuah cerita tentang dua orang putri, kakak beradik. Mereka tinggal di tengah hutan raya. Hal ini karena mereka tidak lagi mempunyai ayah dan ibu. Ketika kedua orang tua mereka masih ada, keluarga mereka termasuk sebuah keluarga yang bahagia dan rukun. Ketika itu pernah ibunya perpesan pada kedua anaknya. “Anakku, jangan biasakan hidup bermalas-malasan. Apalagi, kalau ada daging, jangan pernah membiarkan daging itu berlama-lama. Daging yang segar itu jika dibiarkan berlama-lama bisa hidup dan tumbuh menjadi setan gergaji. Dan gergaji itu akan memakan kita.”

Sekian lama waktu berselang, mereka sudah merasa nyaman hidup di hutan dengan makan seadanya. Tiba-tiba saja mereka mendapat kiriman daging dari kampung dan kedua putri ini meminta pengantar daging untuk meletakkan daging itu di depan pintu. Kemudian pengantar langsung pergi lagi. Kedua putri itu saling menolak untuk membersihkan dan memasak daging tersebut. Bahkan, untuk mengambil dari depan pintu saja mereka malas. Keduanya mengatakan sebentar lagi..sebentar lagi. Sedangkan daging sudah sangat lama di depan pintu. Mereka lupa dengan pesan ibu mereka.

Tiba-tiba saja secara perlahan daging itu tumbuh menjadi gergaji yang sangat besar, menyerupai raksasa. Kedua putri itu menjadi takut. Apalagi, ketika mendengar suara gergaji yang bergelegar saat berbicara pada mereka.

“Buka pintu! Buka pintu! Ini dia aroma Putri Bangsu,” kata gergaji.

Di tengah rasa takut, masih ada ide dari kedua putri itu. Mereka mencoba menyahut setiap kali Gergaji berbicara. Katanya “Sebentar Kakek Gergaji, sebentar lagi akan kubukakan pintu untukmu. Sabarlah, aku akan memasak nasimu terlebih dahulu.”

Menyahut lagi Gergaji, “Iya, aku ingin makan banyak. Masak yang banyak, ya?”

“Seberapa banyak Kakek, kira-kira satu bambu, cukup?” Putri bertanya lagi.

“Kalau segitu tidak cukup untuk tahi gigiku pun,” kata gergaji lagi dari balik pintu. Sambil bicara, Gergaji mendorong pintu terus menerus. Begitu juga dengan kedua putri tersebut, sambil berbicara mereka mencari akal untuk bisa melarikan diri. Ditanyanya lagi pada Gergaji. “Jadi, jika kumasak berapa banyak baru cukup kek, dua bambu cukup?”

“Segitu? Tidak cukup untuk sugiku pun,” sahut Gergaji.

Ketika itu, kedua putri sudah menemukan ide. Mereka memanggil kucingnya. “Cing! Cing! Cing!, kami akan pergi dari sini. Setelah kami pergi jauh tolong bukakan pintu untuk setan Gergaji yang ada di luar,” kata Putri pada kucingnya.

Sebelum pergi, kedua putri itu terlebih dahulu memasang ranjau di balik pintu. Ranjau itu dibuat dari kukuran kelapa. Kiranya, jika setan Gergaji masuk, akan terperangkap ranjau tersebut.

Singkat cerita, kedua putri itu pergi jauh, kucing pun membukakan pintu untuk setan Gergaji. Setelah itu, kucing langsung melompat dengan lincah. Setan Gergaji terperangkap di aras ranjau kukuran kelapa, karena dipikirnya kedua putri yang membukakan pintu untuknya.

“Rupanya bukan Putri Bungsu. Mana Putri Bungsu?” kata setan Gergaji sambil berjalan ke dapur. Dilihatnya juga tidak ada masakan apa-apa di dapur. Setan Gergaji memang lebih menyukai si Bungsu dari pada kakaknya.”Katanya tadi mau memasak nasi untukku, rupanya tidak ada nasi di sini,” ujar Gergaji lagi.

Kedua putri telah berlari jauh hingga ke tepian sungai. Di tepi sungai,, mereka bertemu dengan tukang Perahu. Kedua putri itu pun menyapanya. ”Abang-Abang tukang perahu, tolonglah kami. Tolong sembunyikan kami, karena kami sedang dikejar setan Gergaji.”

Abang tukang perahu menolong mereka. Keduanya disembunyikan ke bawah telungkup perahu buatannya. Sayagnya, bayangan keduanya memantul di dalam air. Sedangkan si Gergaji sudah tiba menyusul.

“Muh…! Ini bau Putri Bungsu. Abang-abang tukang perahu, apakah ada di sini Putri Bungsu? Di sini aku mencium ada aroma Putri Bungsu,” tanya setan Gergaji.

“Ada. Itu dia bersembunyi di dalam air, carilah ke situ,” kata tukang perahu pada Setan Gergaji sambil menunjuk bayangan Putri Bungsu di dalam air.

Setan Gergaji menyelam, tapi dia tidak berhasil menemukan putri. Yang ada, dia hanya kedinginan karena terlalu lama berada dalam air. Kemudian dia keluar dengan bibir bergetar, badan sudah menggigil, kedinginan. “Kenapa tidak ada? Padahal aku ada melihatnya di sana,” kata Gergaji pada Abang tukang perahu.

Karena melihat Gergaji kedinginan, Abang tukang perahu mulai menawarkan jasa. “Dingin ya, Kek?”

“I…i…ya,”

“Apa perlu selimut, Kek?” tanya tukang perahu lagi.

“Iya,” jawab Gergaji singkat.

Kemudian Abang tukang perahu menyelimuti Gergaji dengan ijuk yang sangat tebal. Ia bertanya lagi, “ Apa masih dingin juga, Kek?”

“I…i…ya.” jawab gergaji lagi, dengan mulut bergetar.

“Apa perlu saya nyalakan api, Kek?” tanya tukang perahu lagi.

“I..i..ya.”

Kemudian tukang perahu menyalakan api pada ijuk yang ada di badan Gergaji hingga Geraji terbakar.

“Apa sudah terasa hangat, Kek?” tanya tukang perahu lagi.

“Sedikit.”

Tukang perahu menyulut api semakin besar hingga akhirnya Gergaji terbakar sampai menjadi arang. Tapi Gergaji masih bisa bicara. Sampai arangnya digiling dia masih tetap bicara.” Yah, ini dia bau Putri Bungsu.” katanya. Padahal, dia sudah mati.

“Dik, sekarang setan Gergajinya sudah mati. Kalian berdua sudah boleh pergi. Memangnya kalian mau kemana?” tanya tukang perahu pada kedua putri.

“ Abang tukang perahu, kami ini anak yatim piatu, tidak punya apa-apa. Mau pergi ke mana juga kami belum tahu,” kata Putri yang lebih tua. “Kami pernah mendapat amanah dari ibu, kami tidak boleh berpisah. Jika memang harus terpisah, kami sudah dilengkapi dengan perlengkapan dan bekal masing-masing. Satu ke langit ke Bujang Jere, satu ke Hilir ke Malim Dewa.”

Karena kasihan, tukang perahu memberikan sebuah perahu pada keduanya. Memang, mereka mempunyai perhiasan lengkap. Gelang emas, kalung, sanggul, dan baju yang cantik pula. Layaknya pengantin di atas pelaminan. Mereka memang seorang putri yang akan segera berjodoh. Jodoh si sulung di langit, Bujang Jere, sedangkan si bungsu berjodoh di Hilir, dengan Malim Dewa.

Adiknya mempunyai watak yang keras kepala, ingin menang sendiri karena masih ada lengket sifat manja. Akhirnya, mereka diberikan perahu oleh abang tukang perahu. Tinggallah mereka di sana. Mereka hanyut bersama perahu.

Dalam perahu itu ada sebuah jambu kelutuk yang besar dan terlihat sangat lezat. Putri yang tertua sedang tertidur. Buah itu ditemukan oleh putri bungsu. Pada awalnya putri yang bungsu sudah membelah buah tersebut dengan niat untuk membagi pada kakaknya. Tapi, ternyata buah itu memang sangat lezat, akhirnya dia lupa meninggalkan untuk kakaknya.

Seketika kakaknya bangun tidur dan melihat ada bekas makanan di mulut adiknya. Kakanya bertanya, “ Adik, baru makan apa?”

Adiknya. “Aku tidak memakan apa-apa, Kak.”

Mendengar jawaban adiknya, si kakak sangat kecewa karena kebohongan itu menunjukkan adiknya tidak setia pada kakaknya. Hal ini membuat kakaknya menjadi sedih. Hingga kakaknya mengutarakan niat untuk berpisah pada adiknya.

“Adikku, mulai saat ini lebih baik kita berpisah. Kamu telah membohongi kakak. Aku ke langit, ke Bujang Jere, kamu ke Hilir ke Malim Dewa” katanya.

Dengan sedih dan penuh penyesalan, adiknya harus menerima keputusan si kakak. Karena memang dia yang salah. Pesan kakaknya, “Adikku, jika aku sudah terbang, jangan panggil lagi. Karena aku takut pintu langit akan tertutup dan aku tidak dapat pergi.” Setelah itu, kakaknya langsung terbang. Adiknya menangis sedih.

Tidak tahan berpisah dari kakanya, adiknya mulai memanggil-manggil kakaknya. Ia memanggil di kakak sambil meratap. “Kakakku pulanglah, gelang emasku terjatuh, tolong ambilkan.”

Mendengar adiknya memanggil, si kakak berbalik lagi untuk memasangkan gelang adiknya. Tapi setelah itu kakaknya terbang lagi, sambil kembali berpesan, “ Adik, jangan lagi panggil kakak, karena sebentar lagi pintu langit akan tertutup.”

Sebentar kakaknya terbang, adiknya menangis lagi. “Kakak, kakakku, pulanglah, pulang, kalung emasku dan sanggulku terjatuh, tolong dirapikan lagi.”

Sesaat setelah itu, kakaknya datang lagi dan membenarkan semua perlengkapan adiknya. Kemudian dengan cepat dia pergi lagi, tak lupa kakaknya berpesan untuk tidak memanggilnya lagi. Satu pesan terakir dia, ”Adik, jika nanti engkau berperahu ke hilir, jangan berhenti di bawah pohon gele, itu tempat Tuntung Kapur yang jahat. Biarpun cuaca panas dan kamu benar-benar capek, jangan sesekali kamu berhenti di tempat itu.”

“Iya,” jawab adiknya.

Sesaat kakaknya terbang, lagi-lagi adiknya menangis dan memanggil lagi, tapi kali ini kakaknya menutup rapat kupingnya agar tidak mendengar tangisan adiknya. Setelah itu, kakaknya tidak kembali lagi. Adiknya hanya menangis dan menyesali perbuatannya yang telah membuat kakaknya marah. Bungsu terus menangis. Di dayungnya perahunya dengan elegi tangisan. ”So…so…perahu berdeso. Kakakku ke langit ke Bujang Jere, aku ke hilir ke Malim Dewa.”

Perahunya terus berjalan. Tiba-tiba sampailah putri bungsu pada pohon gele, “Wah, berteduh di bawah pohon ini sejuk sekali,” batin Putri Bungsu. Hingga akhirnya dia lalai dan bermain-main di situ. Putri bungsu mengikat perahunya dan dia memanjat pohon yang lagi berbuah. Dia betul-betul dilalaikan oleh suasana yang indah dan buah-buah pohon yang lezat.

***

Di rumah Tuntung Kapur, Tuntung Kapur disuruh ayahnya mengambil air ke telaga yang berada di pinggiran sungai, tepat berada di bawah pohon yang di panjat oleh Putri Bungsu.

“Nak, tolong ambilkan air,” perintah ayahnya.

Tuntung Kapur malah menjawab dengan makian untuk ayahnya. ”Aduh, Ayah ini kurang ajar sekali, masa aku yang cantik disuruh-suruh mengambil air,” katanya.

Tuntung Kapur sangat terkenal jahat, miskin, malas, sombong, dan segala sifat jahat melekat padanya. Tuntung Kapur terus membantah. Namun, akhirnya dia mau juga mengambil air setelah berulang kali diperintahkan ayahnya.

Dengan sebuah labu di tangannya, dia berangkat ke telaga. Sampai ke telaga, dia melihat bayangan yang sangat cantik. Dia berpikir kalau itu adalah bayangan wajahnya. Padahal, itu adalah bayangan Putri Bungsu yang berada di atas pohon. Melihat bayangan yang sangat cantik, Tuntung Kapur langsung memecahkan labu yang dibawanya. Lagi-lagi ia memaki-maki ayahnya yang telah menyuruhnya mengambilkan air ke telaga. Dalam hatinya, orang yang cantik seperti dia seharusnya tidak patut disuruh-suruh. Tuntung Kapur pulang ke rumah.

Sesampainya di rumah, Tuntung Kapur ditanyai oleh ayahnya. ”Mana airnya?”

Tuntung Kapur menjawab dengan berbohong. “Ayah, aku tidak membawa air karena aku dikejar kuda dan labu yang kubawa tadi sudah pecah,” kata Tuntung Kapur.

Ayahnya memberi labu yang baru dan menyuruh Tuntung Kapur mengambil air lagi. Sesampai di telaga, Tuntung Kapur tidak langsung pulang, dia lalai melihat bayangan wajah cantik yang ada dalam telaga dan dia masih berpikir kalau itu adalah bayangan wjahnya. Akhirnya, labu kedua juga dipecahkan oleh Tuntung Kapur. Kemudian, dia pulang dan memberikan alasan yang sama pada ayahnya.

Ayahnya menyuruh lagi mengambil air, tapi kali ini ayahnya memberikan labu yang terbuat dari kulit yang anti pecah. Kejadian tidak jauh berbeda. Sesampai di telaga, Tuntung Kapur hanya memandangi bayangan yang ada dalam air, kemudian timbul lagi kebencian pada ayahnya. Tuntung Kapur kembali ingin memecahkan labu yang dibawanya. Diambilnya batu dan labu pun diketok. Tapi tidak berhasil. Berkali-kali diketok, tetap juga tidak berhasil. Sampai dia capek dan tidak berdaya lagi.

Melihat kejadian itu, sontak putri yang ada di atas pohon tertawa terkikik-kikik. Gara-gara itu pula, Tuntung Kapur mengetahui keberadaan putri di atas pohon.[bagaimana cerita selanjutnya? Silahkan simak pekan depan]

Ditulis kembali oleh Rismawati berdasarkan tuturan langsung Bibi Shaleh, 80 tahun, warga Kampung Badak, Blangkejeren.

No comments:

Post a Comment