Pada suatu ketika, suasana tenang tersebut tiba-tiba terusik oleh kedatangan Hantu Pirau. Ia selalu datang menakut-nakuti anak-anak kecil yang sedang bermain dan mengganggu bayi-bayi yang sedang tidur. Jika melihat bayi ataupun anak-anak kecil, Hantu Pirau suka tertawa terkekeh-kekeh kegirangan, sehingga anak-anak menjadi ketakutan dan bayi-bayi pun menangis. Namun, jika para orangtua menjaga anak-anak mereka, hantu itu tidak berani datang mengganggu. Oleh karenanya, para orangtua setiap saat harus selalu menjaga anak-anak mereka baik ketika sedang bermain maupun tidur di buaian. Keadaan tersebut membuat warga menjadi resah, karena mereka tidak bisa keluar rumah untuk pergi mencari nafkah.
Melihat keadaan itu, para pemimpin masyarakat dari Tujuh Koto, Sembilan Koto, dan Batin Duo Belas atau yang lazim disebut Dubalang Tujuh, Dubalang Sembilan, dan Dubalang Duo Belas, mencoba mengusir hantu tersebut dengan membacakan segala macam mantra yang mereka kuasai. Namun, semuanya sia-sia. Bahkan, kelakuan hantu itu semakin menjadi-jadi. Hampir setiap saat, baik siang maupun malam, ia selalu datang mengganggu anak-anak hingga menangis dan menjerit-jerit ketakutan.
“Segala cara sudah kita lakukan, tapi Hantu Pirau itu tetap saja tidak mau enyah dari negeri ini. Apa yang harus kita lakukan sekarang?” tanya Dubalang Tujuh bingung.
“Bagaimana kalau kejadian ini kita sampaikan kepada raja?” usul Dubalang Sembilan.
“Aku setuju. Bukankah beliau seorang raja yang sakti mandraguna?” sahut Dubalang Duo Belas.
“Baiklah kalau begitu! Ayo kita bersama-sama pergi menghadap kepada raja,” kata Dubalang Tujuh.
Setelah mendapat kata mufakat, akhirnya ketiga dubalang tersebut segera menghadap Raja Negeri Jambi. Sesampainya di istana, mereka pun segera melaporkan semua peristiwa yang sedang menimpa negeri mereka.
“Ampun, Baginda! Kami ingin melaporkan sesuatu kepada Baginda,” kata Dubalang Dua Belas.
“Katakanlah! Apakah gerangan yang terjadi di negeri ini, wahai Dubalang?” tanya Raja Jambi ingin tahu.
“Ampun Baginda! Beberapa hari ini, Hantu Pirau selalu datang mengganggu anak-anak kami. Mula-mula mereka merasa geli dan tertawa, tapi lama-kelamaan mereka menangis dan menjerit ketakutan,” jawab Dubalang Duo Belas.
“Ampun, Baginda! Kami sudah melakukan berbagai cara, namun Hantu Pirau itu selalu saja datang mengganggu mereka,” tambah Dubalang Sembilan.
“Bagaimana bentuk dan rupa Hantu Pirau itu? Apakah kalian pernah melihatnya?” tanya Raja Jambi.
“Belum Baginda! Kami hanya sering mendengar suara gelak tawanya kegirangan ketika anak-anak itu menangis dan menjerit-jerit,” jawab Dubalang Duo Belas.
Mendengar laporan para dubalang tersebut, Raja Jambi tersenyum sambil mengelus-elus jenggotnya yang lebat dan sudah mulai memutih. Ia kemudian beranjak dari singgasananya lalu berjalan mondar-mandir.
“Baiklah kalau begitu. Pulanglah ke negeri kalian dan sampaikan kepada seluruh warga yang pandai membuat lukah[1] agar masing-masing orang membuat sebuah lukah!” titah Raja Negeri Jambi.
“Ampun, Baginda! Untuk apa lukah itu? Bukankah sekarang belum musim berkarang (mencari ikan)?” tanya Duabalang Duo Belas dengan penuh keheranan.
“Sudahlah, laksanakan saja apa yang aku perintahkan tadi! Jangan lupa, setelah lukah-lukah tersebut selesai, segeralah memasangnya di atas bukit dengan mengikatkannya pada tonggak-tonggak yang kuat. Setelah itu, setiap pagi dan sore kalian bergiliran ke atas bukit untuk melihat lukah-lukah tersebut!” perintah sang Raja.
Mendengar penjelasan sang Raja, ketiga dubalang itu langsung mohon diri untuk melaksanakan perintah. Tak satu pun dari mereka yang berani kembali bertanya kepada raja. Dalam perjalanan pulang, mereka terus bertanya-tanya dalam hati tentang perintah sang Raja.
Sesampainya di negeri masing-masing, ketiga dulabang itu langsung menyampaikan perintah raja kepada seluruh warganya. Para warga hanya terheran-heran ketika menerima perintah itu. Ketika bertanya kepada ketiga dubalang, mereka tidak mendapat jawaban yang pasti. Sebab ketiga dubalang itu juga tidak mengetahui maksud sang Raja. Namun karena itu adalah perintah raja, para warga pun segera membuat lukah, meskipun dalam hati mereka selalu bertanya-tanya. Lukah-lukah tersebut kemudian mereka pasang di atas bukit yang tak jauh dari permukiman penduduk. Setiap pagi dan sore ketiga dubalang itu secara bergiliran naik ke atas bukit untuk melihat dan memeriksa lukah-lukah tersebut. Pada hari pertama, kedua, ketiga hingga hari keenam, belum menunjukkan adanya tanda-tanda yang mencurigakan.
Pada hari ketujuh di pagi hari, Dubalang Duo Belas mendapat giliran naik ke atas bukit untuk memeriksa lukah-lukah tersebut. Alangkah terkejutnya saat ia berada di atas bukit. Ia melihat sesuatu menggelepar-gelepar di dalam sebuah lukah. Bentuknya menyerupai manusia, tetapi kecil. Makhluk itu juga dapat berbicara seperti manusia. Ketika Dubalang Duo Belas mendekat, makhluk aneh itu mengeluarkan suara yang sudah tidak asing lagi di telinganya.
“Hei, sepertinya aku sering mendengar suara itu. Bukankah itu suara Hantu Pirau yang sering mengganggu anak-anak kecil?” tanya Dubalang Duo Belas dalam hati.
Setelah memastikan bahwa suara itu benar-benar Hantu Pirau, maka yakinlah ia bahwa makhluk yang terperangkap dalam lukah itu pastilah Hantu Pirau. Ia pun segera melaporkan hal itu kepada Raja Negeri Jambi.
“Ampun, Baginda! Hamba baru saja dari bukit itu. Hamba menemukan seekor makhluk yang terperangkap ke dalam lukah. Apakah dia itu Hantu Pirau?” tanya Dubalang Duo Belas.
“Benar, dubalang! Bawalah Hantu Pirau itu kemari!” titah sang Raja.
“Baik, Baginda! Hamba laksanakan!” ucap Dubalang Duo Belas seraya berpamitan.
Sebelum menuju ke atas bukit, ia mengajak Dubalang Sembilan dan Dubalang Tujuh untuk bersama-sama mengambil lukah tersebut. Setelah membuka tali pengikat lukah dari tonggak, ketiga dubalang tersebut membawa lukah yang berisi Hantu Pirau itu ke hadapan sang Raja.
“Sudah tahukah kalian, wahai dubalang! Makhluk inilah yang bernama Hantu Pirau yang sering menganggu anak-anak kecil,” ungkap sang Raja.
“Mengerti Baginda!” jawab ketiga dubalang itu serentak.
“Pengawal! Siapkan pedang yang tajam! Aku akan memotong-motong tubuh hantu ini,” perintah sang Raja kepada seorang pengawal.
Mendengar ancaman tersebut, Hantu Pirau itu pun langsung memohon ampun kepada Raja Negeri Jambi.
“Ampun, Tuan! Janganlah bunuh hamba! Jika Tuan sudi melepaskan hamba dari lukah ini, hamba akan memenuhi segala permintaan Tuan. Bukankah Tuan adalah Raja yang arif dan bijaksana?”
“Baiklah, kalau begitu! Aku hanya ada dua permitaan. Pertama, setelah keluar dari lukah ini, tinggalkan negeri ini dan jangan pernah kembali mengganggu wargaku lagi, terutama anak-anak kecil. Kedua, serahkan cincin pinto-pinto (pinta-pinta, yakni cincin sakti, apo yang kuminta harus ado) itu kepadaku!” kata sang Raja.
Hantu Pirau pun langsung menyanggupi permintaan Raja Jambi. Setelah dikeluarkan dari lukah, ia pun segera menyerahkan cincin pinto-pinto nya kepada sang Raja, lalu pergi meninggalkan Negeri Jambi. Sejak itu, Negeri Jambi tidak pernah lagi diganggu oleh Hantu Pirau. Keadaan negeri kembali aman, damai dan tenang. Seluruh penduduk kembali melakukan pekerjaan mereka sehari-hari dengan perasaan aman dan tenang.
Beberapa tahun setelah peristiwa Hantu Pirau itu, Raja Negeri Jambi tiba-tiba berpikir ingin membuktikan kesaktian cincin pinto-pinto pemberian Hantu Pirau. Namun karena keinginannya tidak ingin diketahui oleh rakyat Negeri Jambi, maka ia pun menyampaikan kepada rakyatnya bahwa dia akan pulang ke negerinya di Keling (India) dalam waktu beberapa lama.
Sesampai di negerinya, Raja Jambi pun segera menguji kesaktian cincin pinto-pinto itu.
“Hei cincin pinto-pinto! Jadikanlah Kota Bambay ini sebagai kota yang bertahtakan mutiara, batu permata, dan intan berlian!” pinta Raja Jambi.
Dalam waktu sekejap, suasana Kota Bombay tiba-tiba berubah menjadi gemerlap. Seluruh sudut kota dipenuhi dengan mutiara, batu permata dan intan berlian. Alangkah senang hati sang Raja melihat pemandangan yang indah dan menggiurkan itu. Ia pun enggan untuk kembali ke Negeri Jambi. Namun sebagai raja yang arif dan bijaksana, beberapa tahun kemudian ia mengutus salah seorang putranya yang bernama Sultan Baring untuk menggantikannya sebagai Raja Jambi.
Mendapat perintah itu, Sultan Baring pun segera berangkat ke Negeri Jambi bersama dengan beberapa orang pengawalnya. Sesampainya di Negeri Jambi, ia pun segera menyampaikan amanah ayahnya kepada seluruh rakyat Jambi bahwa sang Ayah tidak dapat lagi memerintah Negeri Jambi karena sudah tua. Setelah itu, ia membacakan surat pengangkatannya sebagai Raja Jambi Kedua setelah ayahnya. Rakyat Jambi pun menyambutnya dengan gembira, karena ia juga seorang Raja yang arif dan bijaksana seperti ayahnya. Konon, Sultan Baring inilah yang menurunkan raja-raja, sultan-sultan maupun raden-raden berikutnya, seperti Sultan Taha Saifuddin dan Raden Ino Kartopati.
apa tanda hidup berilmu,
manfaat mufakat ianya tahu
duduk berunding bersanding bahu
sebelum melangkah memberi tahu
sebelum terlanjur mencari guru
sebelum menyalah bertanya dahulu
Pelajaran lain yang dapat dipetik dari cerita di atas adalah bahwa ilmu pengetahuan sangatlah penting dalam kehidupan manusia, karena dengan ilmu pengetahuan segala kesulitan dapat diatasi dengan mudah. Oleh karenanya, setiap orang dituntut untuk rajin belajar agar mempunyai pengetahuan yang luas. Menurut orang tua-tua Melayu, manfaat ilmu pengetahuan bukan saja untuk kepentingan pribadi, juga bermanfaat bagi kepentingan masyarakat, bangsa dan negara. Itulah sebabnya, dalam kehidupan orang Melayu, menuntut ilmu pengetahuan sangatlah diutamakan. Dikatakan dalam tunjuk ajar Melayu:
wahai ananda dengarlah pesan,
menuntut ilmu engkau utamakan
banyakan amal kuatkan iman
supaya dirimu dikasihi Tuhan
bertuah parang karena hulunya,
bulu dikepal elok terasa
bertuah orang karena ilmunya
ilmu diamalkan hidup sentosa
Sumber:
Kaslani. Buku Cerita Rakyat Dari Jambi 2. Jakarta: Grasindo. 1998.
No comments:
Post a Comment