Peluang Bisnis untuk Anda

Saturday, November 7, 2009

Putri Babi

Zaman dahulu kala, di sebuah negeri Antah Berantah hiduplah sepasang suami istri. Si suami bernama Mujang dan istrinya bernama Minah. Keluarga itu merupakan keluarga yang kaya, tetapi mereka tidak mempunyai seorang anak pun. Karena itu, meski kehidupan mereka serba kecukupan, suami istri itu merasa sangat kesepian. Mereka merasa sepi dari suara tangis anak-anak. Keduanya berhasrat sangat mendengar suara tangis dan rengekan seorang anak untuk menghiasi rumah mereka. Sangking kepinginnya akan anak, sang suami sengaja menyediakan beberapa mainan anak-anak seperti mobil-mobilan, rumah susun, dan sebagainya.

Adapun sang istri, setiap selesai sembahyang, ia selalu memohon pada Tuhan agar mereka dianugerahi anak. “Seorang pun boleh,” demikian selalu doa Minah.

Suami istri itu memang tergolong orang yang sangat rajin beribadah. Tidak hanya sembahyang, jika ada orang yang meminta sedekah atau sekedar minta pertolongan kepada mereka, selalu mereka bantu. Oleh karena itu, mereka heran mengapa Tuhan belum juga mengabulkan doa mereka untuk memiliki seorang anak pun.

Hari berganti hari, kesepian itu semakin memakan jantung dan hati keduanya. Suatu hari, Mujang berkata, “Istriku, sudah terlalu lama kita merindukan seorang anak. Setiap selesai sembahyang aku memohon kepada Tuhan agar kita diberikan anak. Seorang saja sudah cukup. Mengapa Tuhan tidak mengabulkan doa kita? Apakah ibadah kita masih kurang?”

Mujang diam sejenak. Dia menghela napas, lalu melanjutkan, “Usia kita semakin tua. Tampaknya tidak mungkin lagi kita punya anak. Sekarang cobalah giliran kau pula yang memohon pada Tuhan. Barangkali suara seorang perempuan lebih didengar oleh Tuhan daripada suara lelaki.”

Mendengar kata-kata suaminya, Minah menangis. “Ketahuilah Suamiku, tanpa engkau suruh pun, selama ini aku selalu memohon kepada Tuhan agar kita diberi buah hati. Aku sudah menjahitkan baju yang sangat cantik untuk anak kita,” ujar Minah dengan berlinang air mata.

Nyaris saban hari suami istri itu selalu saling tukar cerita sembari menitikkan air mata. Sering si suami bertanya setiap selesai sembahyang atau sebelum tidur. “Istriku, apakah kau belum merasakan hamil? Tadi aku sudah berdoa lagi agar kau hamil.”

“Entahlah, Suamiku. Sepertinya perutku biasa-biasa saja. Tak ada tanda-tanda aku ngidam sesuatu,” jawab sang istri.

Hari terus berganti, waktu kian beranjak, suami istri tak pernah juga bosan memohon kepada Tuhan. Suatu hari di hari Jumat, ketika orang-orang sedang sembahyang di mesjid, Minah berlari kecil ke halaman rumahnya. Di halaman selebar dua kali lapangan voli itu Minah menengadah ke langit. Saat itu sedang terdengar Khatib membacakan doa rukun dua khutbah. Minah menatap mata hari di langit tanpa berkedip hingga matanya basah dan mengeluarkan air. Dia biarkan air matanya meleleh. Dia terus menatap ke langit. Sekejap kemudian, dirapatkannya kedua tangannya ke dada. Ketika itu tubuh Minah bergetar hebat. Bibirnya kumat-kamit. Dari bibir itu keluar permohonan dengan suara serak dan gemetar.

“Tuhan, sudah terlalu lama kami merindukan seorang anak, tetapi sampai saat ini, tak seorang jua Kau berikan. Padahal, umur kami sudah terhidu tanah. Apakah kebaikan kami selama ini salah? Apakah kami salah telah berbuat baik di jalan-Mu? Salah kah kami Tuhan?!”

Minah menelan ludahnya sejenak. Lalu, “Hari ini dengarkanlah permintaan hamba-Mu yang lemah ini. Mungkin ini terakhir kalinya aku meminta kepada-Mu. Tuhan, kumohon dengan sangat, berilah kami seorang anak. Seorang saja. Asalkan kami dapat punya anak, babi pun boleh, Tuhan!” Di akhir kalimatnya, Minah menangis sesungukan. “Seorang saja, Tuhan, babi pun boleh,” ulangnya lagi sambil terus berlinang air mata. Dadanya mulai sesak menahan isak.

Begitu doa Minah selesai, langit tiba-tiba bergemuruh, halilintar menyambar-nyambar, hujan turun seketika, padahal matahari sangat panas ketika itu. Melihat hujan turun, Minah segera berlari masuk rumah. Di dalam rumah, dia kembali berusaha menahan gemetar yang menggerayangi sekujur tubuhnya.

Sejak kejadian hari itu, Minah merasakan perutnya lama-kelamaan membesar. Dia pun mulai menginginkan makan yang masam-masam. Singkat cerita, Minah hamil. Bukan main senangnya sumia istri itu. Setelah sembilan bulan menanti, lahirlah seorang anak dari perut Minah. Namun, sayangnya anak mereka bukan manusia, melainkan seekor babi. Babi yang mungil masih berwarna merah, persis seperti anak babi yang baru lahir.

Keduanya terkejut bukan kepalang. Minah teringat kata-katanya sepuluh bulan silam. Diceritakannyalah ihwal hari Jumat itu pada suaminya hingga si suami mahfum akan keadaan anak mereka. Mereka sepakat tetap merawat anaknya, kendati berupa seekor anak babi. Anak babi itu dirawatnya dengan penuh kasih sayang hingga kian hari semakin membesar. Setelah besar, Minah dan suaminya membuatkan kandang untuk si babi tersebut, sebuah kandang yang khusus untuk tempat tinggal babi di dalam rumah mereka.

***

Sementara itu, di negeri seberang, tersebutlah seorang raja beserta permaisuri. Mereka mempunyai seorang pangeran yang tampan. Melihat sang pangeran sudah besar, raja berpikir akan mencarikan istri untuk anaknya agar dia memiliki cucu sebagai pewaris kerajaan.

Adapun tentan sang pangeran, ia mempunyai hobi bertualang. Karena itu pula, dia belum punya hasrat untuk menikah. Setiap hari kalau ia ditanyai orangtuanya kapan menikah, pangeran selalu cari alasan. Dia tidak mau ayahnya tersinggung. Akhirnya, dia ungkapkan alasan bahwa dirinya masih suka bertualang sehingga belum siap menikah.

“Ayah dan Ibu yang sangat ananda cintai, ananda masih ingin berputar-putar. Kalau ananda menikah nanti, ananda takut istri ananda akan kecewa, sebab selalu ditinggal suaminya yang suka bertualang,” demikian ujar pangeran memberi alasan.

Meski sudah memberi alasan berkali-kali, raja tetap ngotot hedak melihat anaknya bersanding.

“Baiklah, Ayah,” sahut Pangeran. “Ananda akan mencari siapa yang mau dengan ananda. Ananda akan merantau ke negeri seberang. Mohon restu ayah dan bunda.”

Syahdan, berangkatlah pangeran dengan sepuluh awak kapal mengarungi pulau-pulau menuju negeri seberang. Setelah berhari-hari, sampailah mereka di sebuah pulau. Pangeran dan awak kapalnya singgah di pulau itu. Mereka kemudian berjalan-jalan mengeliling kampung di pulau tersebut. Ketika berjalan-jalan, pangeran melihat seekor babi di kandang yang sangat bagus.

Kadang babi itu dihiasi bunga-bungan. Tempat duduknya pun beralaskan kasur dengan seprai yang bersih. Pangeran mengintip dengan seksama ke dalam kandang. Dia semakin terkesima melihat babi itu sangat bersih dan terawat. Kulitnya sangat beda dengan babi di hutan. Harum si babi pun sampai tercium ke hidung pangeran.

Setelah diselidiki, tahulah pangeran bahwa babi itu bukan hasil buruan, melainkan piaraan. Dan alangkah terkejutnya lagi pangeran ketika mendapati kabar bahwa babi tersebut merupakan anak sepasang manusia. Melaporlah pangeran pada kedua orangtuanya di kerajaan.

“Ayahanda dan Bunda yang ananda cintai, bukankah ayah dan ibu sangat mengharapkan ananda menikah? Ananda sekarang bersedia menikah. Ananda sudah mendapatkan calon istri yang cocok dan ananda hanya mau menikah asalkan dengan dia.”

“Oh anakku. Betapa senang dan bahagia hati ayah bunda mendengar kabar ini. katakanlah anakku, siapakah gadis yang beruntung itu?” tanya raja.

“Mohon maafkan ananda, Ayah dan Bunda. Calon istri ananda itu adalah seekor babi yang diasuh oleh sepasang manusia yang baik budi. Dia tinggal di pulau Rubiah, seberang sana.”

Bukan kepalang terkejutnya raja dan permaisuri mendengar laporan anaknya. Mulanya raja dan permaisuri tidak setuju. Namun, karena pangeran satu-satunya itu tetap berkukuh pada keinginannya, raja pun akhirnya memberi restu.

Setelah mendapat restu dari orangtuanya, pangeran melamar babi tersebut. Singkat cerita, pangeran menikahi seekor babi di kampung si babi. Pesta diadakan seadanya. Sanak kerabat dan orang kampung berdatangan memeriahkan pernikahan seorang pangeran dengan seekor babi. Pangeran pun tinggal di rumah babi tersebut. Kepada pangeran, dibuatkan ranjang yang sangat bagus, terbuat dari bambu kuning dan dihiasi dengan aneka bunga. (Bagaimana kisah selanjutnya? Bahagiakah kehidupan pangeran? Ikut kelanjutan ceritanya minggu depan).

Cerita ini ditulis ulang oleh Herman RN dari lisan Halimah (80-an tahun) dan memperoleh juara III syembara menulis Cerita Rakyat Tingkat Nasional tahun 2008 oleh Pusat Bahasa RI.

No comments:

Post a Comment