Cerita sebelumnya…
Setelah mendapat restu dari orangtuanya, pangeran melamar si babi. Singkat cerita tinggallah pangeran di rumah babi tersebut…
Setelah bertahun tinggal di rumah si babi, pangeran merasakan rindu dengan ayah ibunya. Suatu hari pangeran minta izin pada orangtua si babi untuk menjenguk raja dan permaisuri di negeri seberang. Pangeran minta izin agar istrinya juga diperkenankan ikut serta. Kedua orangtua si babi mengizinkan. Dipersiapkanlah segala kebutuhan perlengkapan bekal perjalanan keduanya.
Setelah semua bekal dipersiapkan, pangeran dan babi dipanggil menghadap Minah. Ibu si babi itu memberi nasihat kepada anaknya. “Anakku, dalam pelayaran nanti jangan singgah di pulau labu, karena pulau labu banyak marabahayanya.”
Setelah selesai ucapan si ibu, rotoklah setumpuk bulu babi di bagian kepalanya. Menyembullah kulitnya yang putih.
Si ibu kembali melanjutkan nasihatnya, “Anakku, dalam pelayaran nanti jangan juga singgah di pulau bambu. Pulau bambu banyak petakanya.”
Setelah selesai kalimat si ibu itu, rontoklah setumpuk bulu di bagian punggung si babi. Menyembul pula kulitnya yang putih di bagian bulu yang rontok tersebut.
“Anakku, dalam pelayaran nanti, jangan singgah di pulau kelapa. Pulau itu banyak marabahayanya,” ujar si ibu lagi yang disusul setumpuk bulu berguguran di bagian dada babi. Menyembul pula kulit babi yang putih dari sana.
“Anaku, dalam pelayaran nanti, jangan singgah di pulau pakis. Pulau pakis banyak petakanya,” kata Minah lagi. Rontok pula setumpuk bulu di perut babi dan menyembul kulitnya yang putih.
Demikian terus-terusan. Setiap selesai satu patah nasihat disampaikan si ibu, setumpuk bulu babi rontok dan menyembul kulitnya yang putih lagi mulus di bekas bulu yang rontok tersebut. Setelah rontok semua bulu-bulu babi itu, tampaklah seorang perempuan cantik jelita sedang duduk bersila. Ternyata bulu-bulu babi itu hanya sarung, sedangkan di dalamnya adalah seorang gadis berkulit putih mulus dan bersih. Parasnya indah dan menarik. Bulu matanya lentik. Bibirnya merekah. Kedua telinganya dihiasi anting-anting dari emas murni. Pergelangan tangannya melingkar gelang-gelang kuning bercahaya, lehernya juga. Jemari tengah dan jari manisnya, hingga kelingking, melingkar cincin. Jemari perempuan muda itu lentik-lentik dan terlihat gemulai. Perempuan itu bak seorang putri. Bertambahlah cinta dan bahagia hati pangeran terhadap istrinya tatkala mendapati bahwa istrinya bukan babi sungguhan, melainkan seorang putri nan jelita.
Setelah habis nasihat disampaikan si ibu, beranjaklah pangeran dan istrinya ke tepi laut. Segenap orang kampung pergi mengantarkan mereka. Suami sitri itu dilepas orangtua dan penduduk kampung dengan suka cita dan doa selamat.
Syahdan, biduk yang dikendarai pangeran dan istrinya berlayar dengan tenang. Demi menjaga keselamatan sang putri, dia ditempatkan dalam sebuah rangkang anjung bertiraikan sutra. Sang pangeran berdiri di depan pintu rangkang.
Setelah melewati setengah hari perjalanan, sampailah mereka di pulau Labu. Babi yang telah berubah menjadi manusia cantik bersuara dari dalam rangkang anjung. “Wahai Pangeran, sudah tiba rupanya kita di pulau. Panas dan gerah dinda di dalam. Haus terasa bukan kepalang. Izinkan dinda sekejap tinggalkan rangkang. Dinda hendak mandi sesaat saja.”
“Istriku, ingatlah pesan ibunda sebelum kita berangkat,” jawab pangeran dari luar rangkang.
“Hanya sebentar, Suamiku. Sebantar saja. Dinda sangat gerah di dalam sini.”
“Tidak akan kupenuhi permintaanmu yang satu ini, karena melanggar nasihat bunda,” balas pangeran dengan suara berwibawa.
Mendengar jawaban pangeran, putri pun diam. Kapal mereka kembali berlayar. Angin bertiup perlahan hingga mengantarkan mereka pada sebuah pulau yang lainnya. Pulau itu bernama Pulau Bambu. Putri kembali bersuara dari balik rangkang anjung.
“Duhai Pangeranku, telah sampai rupanya kita di pulau. Panas dan gerah dinda di dalam. Haus bukan kepalang. Izinkan dinda sekejap tinggalkan rangkang. Dinda hendak basuh muka barang setitik.”
“Istriku, ingatlah nasihat bunda sebelum kita berlayar. Pulau bambu banyak marabahayanya. Dinda basuh muka dengan air yang ada di dalam kapal saja.”
“Hanya sebentar, Suamiku. Mohon izinkan Dinda mengecap air di luar sana.”
“Tidak akan kuizinkan permintaanmu yang satu ini, karena melanggar nasihat Bunda. Tetaplah di dalam istriku.”
Mendengar jawaban pangeran, putri pun kembali diam. Kapal mereka terus berlayar hingga sampai pula di Pulau Kelapa. Di pulau ini, sang putri kembali bersuara dari dalam rangkang anjung.
“Tuan Pangeranku, telah sampai rupanya kita di pulau ini. Ini pulau ketiga yang kita lalui. Panas dan gerah Dinda di dalam. Haus bukan kepalang. Alangkah bahagia hati ini jika diizinkan sekejap meninggalkan rangkang. Dinda hendak melihat melihat mata hari sejenak.”
“Istriku, ingatlah nasihat Bunda sebelum berlayar. Pulau Kelapa ini banyak marabahayanya. Tidak kuizinkan kau keluar dari anjung walau sebentar jua,” jawab pangeran.
“Sejenak saja, Tuanku,” balas putri dari dalam rangkang. Namun, karena pangeran bersikukuh tidak mengizinkan, sang putri kembali terdiam.
Begitulah dengan pulau-pulau seterusnya, Putri Babi selalu ingin keluar dari dalam anjungnya setiap bertemu dengan pulau-pulau tersebut. Entah mengapa, hasrat untuk mandi atau sekedar cuci muka menggebu-gebu di hati Putri Babi saat bertemu dengan pulau-pulai itu. Ia bahkan hampir lupa dengan nasihat ibunya. Namun, pangerang selalu pula melarangnya.
Alkisah, sampailah kapal mereka di Pulau Pakis. Sesampainya di pulau ini, Putri Babi kembali bersuara, tapi tak ada jawaban dari luar rangkang. Putri mengulangi permintaannya untuk keluar dari rangkang sejenak saka, tapi tetap tak ada sahutan dari luar. Sang Putri mengintip keluar, rupanya sang pangeran tertidur pulas karena kelelahan. Sementara itu, anak buah kapal mereka pun sedang istirahat.
Melihat suaminya terlelap, Putri Babi keluar dari kapal secara sembunyi-sembunyi. Dia melompat ke dalam air, lalu mandi sambil berenang-renang. Tanpa disadarinya arus air telah membawanya ke hilir.
Tiba-tiba, di hilir, Putri Babi bertemu dengan seorang perempuan berkulit putih. Perempuan itu tidak lain dan tidak bukan adalah Hantu Pakis, penghuni pulau tersebut.
Terjadilah dialog antara tuan putri dan Hantu Pakis. “Wahai Tuan Putri, elok benar kalung di lehermu. Bolehkah aku meminjamnya sebentar?” kata Hantu Pakis menyapa Putri Babi.
Karena sedang asyik menikmati dinginnya air, Putri Babi memberikan kalung emas yang melingkari lehernya kepada hantu pakis. Hantu Pakis memakai kalung tersebut.
“Wahai Tuan Putri, indah nian gelang di tanganmu. Bolehkah aku mencobanya sebentar saja?” ucap Hantu Pakis lagi.
Putri Babi pun memberikan gelangnya kepada Hantu Pakis.
“Wahai Tuan Putri, cantik benar subang yang bergantung di telingamu. Bolehkah aku mencobanya barang sekejap?” bujuk hantu pakis lagi.
Putri pun memberikan juga anting-antingnya kepada Hantu Pakis. Begitulah seterusnya, satu per satu perhiasan yang ada pada putri diminta oleh Hantu Pakis dengan alasan pinjam sebentar. Putri Babi tak pernah curiga pada hantu pakis karena wujudnya yang saat itu memang berupa perempuan biasa. Akhirnya, berpindahlah seluruh perhiasan Putri Babi ke Hantu Pakis. Tak cukup sampai di situ, Hantu Pakis meminta pula pakaian dan mahkota yang melekat di kepala Putri Babi. Putri memberikan pula pakaian dan mahkotanya tersebut.
Setelah dapat semua perhiasan dan pakaian putri, Hantu Pakis menghanyutkan Putri Babi tersebut ke tengah sungai. Saat itu barulah sadar putri kalau dia sudah ditipu. Namun, apa boleh buat, arus telah menghanyutkan dia jauh ke hilir. Kendati putri berusaha berenang, tetap tidak mampu menjangkau hantu pakis.
Dengan mengenakan segala perhiasan, mahkota, dan baju Putri Babi, Hantu Pakis mendekati kapal pangeran. Sesampainya di kapal, Hantu Pakis membangunkan pangeran dan mengajaknya melanjutkan pelayaran. Pangeran tidak curiga, karena baju dan perhiasan masih lengkap di tubuh si hantu. Pangeran mengira kalau perempuan di hadapannya saat itu memang benar istrinya, si Putri Babi.
Kapal kembali berlayar. Dari jauh terdengar suara Putri Babi memanggil-manggil. Putri Babi mencoba berenang mengikuti kapal seraya memanggi pangeran.
“Tuan Pangeran, raih aku dengan tangan kiri, pegang pisau di tangan kanan, penampik api neraka,” demikian sayup-sayup suara Putri Babi meminta pertolongan suaminya sambil terus berenang mengejar kapal.
“Suara apa itu, Istriku?” tanya pangeran kepada Hantu Pakis.
“Usah dengar sangat suara itu, Suamiku. Paling juga suara hantu penghuni pulau ini,” sahut Hantu Pakis dari dalam rangkang.
Mendengar jawaban tersebut, pangeran diam. Akan tetapi, suara jeritan meminta tolong kembali terdengar dari arah hilir.
“Tuan Pangeran, ambil aku dengan tangan kiri, pegang pisau di tangan kanan, penampik api neraka,” kata suara itu sayup-sayup.
Pangeran kembali bertanya pada Hantu Pakis, tetapi jawaban yang didapatinya tetap sama seperti semula. “Usah dengar sangat suara itu, Suamiku. Paling juga suara hantu penghuni pulau ini.”
Begitulah seterusnya. Tuan Putri terus mengejar kapal pangeran, namun kapal semakin jauh dan Putri Babi pun kehabisan tenaga.
Kisah ini ditulis ulang oleh Herman RN dari lisan Halimah (80-an), warga Gampông Ujung Pasir, Kecamatan Kluet Selatan, Aceh Selatan. Cerita ini memperoleh juara III lomba menulis Cerita Rakyat tingkat Nasional tahun 2008 oleh Pusat Bahasa RI.
No comments:
Post a Comment