Peluang Bisnis untuk Anda

Saturday, November 7, 2009

PUTRI BABI

Cerita sebelumnya:

Putri Babi tertinggal oleh kapal pangeran. Ia terkecoh oleh tipu daya Hantu Pakis. Kapal pengeran terus berlayar meninggalkan Putri Babi semakin jauh…

Sahibul kisah, sampailah kapal pangeran di pulau perkampungan raja, orangtua si pangeran. Kapal menepi. Orang-orang kampung dan pengawal kerajaan menyambut pangeran dengan suka cita. Kedua suami istri itu dibawa ke istana. Semua terkagum-kagum dengan istri pangeran yang mengenakan pakaian dari sutra, mahkotan, dan lengkap dengan segenap perhiasan di tubuhnya.

Sesampainya di istana, mereka didudukkan di singgasana. Ketika orang kerajaan menyediakan singgasana untuk istri pangeran, Hantu Pakis berkata, “Aku tak biasa duduk di anjung, aku biasa duduk di atas laka.”1

Orang-orang kerajaan pun menyediakan laka untuk tempat duduk tuan putri palsu tersebut. Sementara itu, sang putri asli masih hanyut dibawa arus. Tubuhnya semakin lemah. Dia tak sanggup lagi berenang. Saat itu, Putri Babi teringat cerita ibunya tentang seorang perempuan baik hati. Akhirnya, dia mengucapkan sebuah pinta. “Wahai air yang sejuk lagi menghanyutkan, hanyutkanlah aku di tempian Mande Rubiah. Wahai air yang mengalir lagi mendamparkan, damparkan aku di kaki tempian Mande Rubiah.”

Sebentar kemudian datanglah seekor ikan lumba-lumba. Lumba-lumba itu menelan Putri Babi. Karena tak tahan keberatan, si lumba-lumba akhirnya hanyut dan terdampar di tempian Mande Rubiah.

Ketika itu hari siang menjelang dhuhur. Mande Rubiah, seorang perempuan yang terkenal sangat baik hati, hendak mengambil wudhuk di sungai. Melihat ada seekor lumba-lumba di tepi sungai, didekatinya ikan besar tersebut, lalu dipapahnya ke rumahnya.

Sesampainya di rumah, selepas salat, Mande Rubiah membelah ikan lumba-lumba tersebut. Seperti kebiasaan orang membelah ikan, Mande Rubiah mulai membelah dari bagian ekor. Ketika pisau baru saja menempel di sirip lumba-lumba tersebut, terdengar suara dari dalam perut ikan.

“Elok-eloklah membelah ekor ikan, jangan sampai terbelah badan saya.”

Mande Rubiah berhenti sebentar, padahal saat itu mata pisaunya sudah mengiris bagian ekor lumba-lumba. Mande Rubiah memandang ikan itu sejenak. “Apakah ikan ini yang bicara?” batin Mande Rubiah. Sekejap kemudian, perempuan yang berusia lebih setengah abad itu melanjutkan pekerjaannya membelah perut lumba-lumba tersebut. Namun, baru setipis kulit bawang mata pisau sampai pada bagian perut lumba-lumba, terdengar kembali sebuah suara yang sama.

“Elok-eloklah membelah perut ikan, jangan sampai terbelah perut saya.”

Mande Rubiah kembali berhenti, tapi tak lama. Setelah diamatinya perut lumba-lumba tersebut sebentar, dia melanjutkan membelah ikan itu. Ia melakukannya sangat hati-hati seperti pesan yang disampaikan suara dari dalam perut lumba-lumba tersebut. Peralahan sekali ia menjalankan mata pisaunya.

Mande Rubiah melepaskan sejenak pisaunya dari perut ikan. Ia lalu mengambil sebilah batu asah. Mande Rubiah mengasah kembali mata pisaunya. Ia takut kalau mata pisau tumpul, akan ada bagian dalam perut ikan yang terluka. Sedangkan suara itu meminta Mande Rubiah agar berhati-hati, tidak sampai melukai.

Setelah merasa yakin mata pisaunya sudah tajam, Mande Rubiah kembali melanjutkan pekerjaannya membelah perut lumba-lumba tersebut. Seperti sebelumnya, begitu mata pisau tiba di bagian kepala ikan, Mande Rubiah kembali mendengar suara aneh dari dalam perut ikan itu. “Elok-eloklah membelah kepala ikan, jangan sampai terbelah kepala saya,” kata suara tersebut.

Mande Rubiah menatap ikan tersebut sejenak. Batinnya semakin berkecamuk. Setelah ikan itu terbelah dua, belahan bagian atas, dipindahkannya ke samping kiri. Alangkah terkejutnya Mande Rubiah saat perut lumba-lumba itu dibuka, terlihat di sana seorang wanita cantik berkulit putih mulus, menempel di perut lumba-lumba. Perempuan itu terkulai lurus dengan tangan terjepit di antara dua sisi pinggangnya dan perut ikan.

Mande Rubiah mengeluarkan perempuan tersebut yang tak lain adalah Putri Babi. Sang putri kemudian dimandikan oleh Mande Rubiah, lalu Mande mengobati sakit putri hingga sembuh.

Mande Rubiah bercerita tentang diri dan hidupnya kepada Putri Babi. Dari ceritanya diketahuilah rupanya Mande Rubiah baru saja kehilangan anak. Anak Mande Rubiah satu-satunya itu seorang perempuan. Oleh karena itu, Mande Rubiah berkeinginan merawat Putri Babi seperti anaknya sendiri. Putri Babi itu pun setuju, karena dia memang tidak memiliki sesiapa lagi dan tidak tahu hendak ke mana. Namun, Putri Babi tak menceritakan kalau dirinya adalah seorang putri, istri pangeran dari negeri seberang. Kepada Mande Rubiah, Putri Babi mengaku sebagai seorang perempuan baisa yang tersesat, lalu dimakan lumba-lumba.

Sahdan, anak Mande Rubiah sangat senang merajut bunga. Bunga yang sudah dirajut panjang bagai tali itu menghiasi halaman dan dinding rumah Mande Rubiah. Tak heran jika Putri Babi melihat banyak bunga aneka warna bertaburan di dalam kamar anak Mande Rubiah. Kamar itu yang akan dihuni oleh Putri Babi. Kamar tersebut terletak di tingkat dua. Kebetulan rumah Mande Rubiah berloteng. Di loteng itulah kamar anaknya.

Singkat cerita, Mande Rubiah mengangkat Putri Babi jadi anaknya. Putri Babi tinggal di rumah Mande Rubiah hingga sembuh total. Karena tak tahu harus berbuat apa, Putri Babi akhirya melanjutkan pekerjaan anak Mande Rubiah, merajut bunga. Alangkah senang hati Mande Rubiah ketika mendengar keinginan Putri Babi yang berhasrat melanjutkan pekerjaan anaknya. Mande Rubiah segera melengkapi segala kebutuhan perajut bunga untuk tuan putri, benang, kertas, tali, dan sebagainya, semua dilengkapi oleh Mande Rubiah.

“Mulai saat ini saya akan merajut bunga-bunga ini sebagai pengganti anak Mande. Tapi, tolong jangan katakan pada siapa pun kalau saya ada di sini,” pinta Putri Babi.

Akhirnya, pekerjaan Putri Babi selama bersama Mande Rubiah, setiap hari merajut bunga. Bunga yang sudah dirajut itu dihulurkan Putri Babi melalui jendela kamarnya di tingkat dua, hingga menjalar ke bawah menyentuh tanah. Indah sangat bunga-bunga hasil rajutan Putri Babi tersebut.

Alkisah, suatu hari pangeran lewat di depan rumah Mande Rubiah. Pangeran takjub melihat bunga-bunga berwarna indah yang menjalar dari jendela rumah panggung Mande Rubiah. Karena takjubnya, pangeran menghampiri Mande Rubiah. “Mande, saya lihat elok sangat bunga-bunga ini. Siapakah gerangan yang merajutnya? Tentulah dia seorang putri jelita,” ujar pangeran.

“Pangeran kan tahu kalau anak saya suka merajut bunga,” jawab Mande Rubiah singkat.

“Tapi, anak Mande kan sudah meninggal?”

“Iya. Ini bunga yang dirajutnya semasa masih hidup,” kata Mande Rubiah berkilah.

Mendengar penjelasan Mande Rubiah, pangeran maklum dan dia segera pamit. Sebelum meninggalkan rumah itu, pangeran memetik sekuntum bunga yang menjulur dari jendela rumah Mande Rubiah. Tentu saja karangan bunga itu menjadi pendek karena sudah dipetik. Namun, keesokan harinya pangeran melihat bunga itu kembali panjang, bahkan menjulur lebih panjang dari hari kemarin. Pangeran memetik sekuntum lagi pada hari itu. Besoknya bunga itu kembali menjulur pajang, bahkan semakin panjang. Hari berikutnya, pangeran mencoba memetik bunga yang menjulur dari jendela loteng rumah Mande Rubiah itu hingga tiga kuntum. Dalam hatinya, ia bertanya, bagaimana mungkin bunga hasil rajutan bisa tumbuh panjang kalau tidak ada yang merajutnya?

Begitulah setiap hari. Jika hari ini pangeran mengambil sekuntum, keesokan harinya bunga itu mengembang berkuntum-kuntum. Pangeran jadi heran. Akhirnya, dia kembali menemui Mande Rubiah. “Mande, siapa di atas pagu itu?”2

“Tak ada siapa-siapa,” jawab Mande Rubiah.

“Lantas siapa pula yang merajut bunga-bungan ini, setiap hari bertambah panjang.”

Mande Rubiah diam. Dia mengerti arah pembicaraan pangeran.

“Aku akan naik ke atas pagu untuk memastikan siapa di sana,” ujar pangeran minta izin.

“Jangan! Jangan Pangeran naik ke atas pagu! Di atas ada kucing garang berkuku panjang. Nanti pangeran bisa terluka diterkamnya,” kata Mande Rubiah dengan wajah ketakutan.

“Tidak apa-apa. Mande jangan khawatir. Aku bisa jaga diri.”

“Jangan, Pangeran! Kucing itu sangat ganas dan pencakar. Nanti Pangeran terluka. Saya tak mau pangeran terluka.”

Pangeran tak perduli. Dia terus naik ke atas loteng. Betapa terkejutnya pangeran sesampainya di atas pagu, di sana didapatinya seorang perempuan cantik tengah merangkai bunga. Rambut perempuan itu terurai di lantai, gaun yang digunakan juga. Ia melihat ke arah lelaki yang datang. Mata mereka pun beradu.

Melihat kecantikan perempuan tersebut, pangeran mematung. Dia terpana dan tergila-gila kepada perempuan itu. Kepada si perempuan, pangeran mengutarakan maksudnya. Pangeran meminta agar perempuan itu mau menikah dengannya. Namun, si perempuan tidak serta merta menjawab permintaan pangeran.

“Eloklah menikah dengan wanita di kerajaan Pangeran sekarang. Kepalanya berlubang seperti celengan,” ujar si perempuan yang tak lain adalah Putri Babi.

“Apa maksud engkau dengan menghina istriku?!”

“Saya tidak menghina. Sungguh keji kehidupan saya kalau untuk mendapatkan pangeran harus menghina istri pangeran dahulu.”

“Katakan apa maksudmu hai anak Mande Rubiah?” desak pangeran.

“Coba saja lihat kepala permaisuri Tuan. Kepalanya berlubang,” sahut Putri Babi.

“Mana mungkin kepala istriku berlubang. Yang berlubang itu kepala Hantu Pakis,” sergah pangeran.

“Kalau begitu, istri Tuan sekarang benar ianya Hantu Pakis. Pulanglah, dan buktikan bahwa kepala permaisuri pangeran memang berlubang,” kata Putri Babi lagi mantap.

Mendengar itu, pangeran langsung pulang ke istananya. Dia segera menemui istrinya. Dengan berpura-pura membelai kepala sang istri, pangeran menyibak rambut istrinya. Benarlah apa yang dikatakan anak Mande Rubiah, kepala permaisurinya berlubang. Yakinlah pangeran bahwa istrinya memang Hantu Pakis.

Seperti yang diajarkan anak Mande Rubiah saat mereka berbincang di rumah Mande Rubiah, pangeran mengambil garam, lalu ditaburkannya di lubang kepala istrinya. Setiap hari pangeran menabur garam di kepala Hantu Pakis hingga akhirnya hantu itu mati pelan-pelan. Setelah hantu pakis mati, pangeran kembali ke rumah Mande Rubiah. Di sana dia menemui Putri Babi.

“Tuan Putri benar. Istri hamba memang Hantu Pakis. Hamba sudah tertipu selama ini. Ternyata Hantu Pakis menyamar jadi istri, sedangkan saya tak tahu di mana istri saya yang sesungguhnya. Saya kilaf, saya salah, saya tak mampu menjaga istri sendiri,” kata pangeran dengan mata berlinang. Ia mencoba mengingat terakhir kalinya bertemu dengan Putri Babi.

Hening sesaat. Anak angkat Mande Rubiah itu pun tak sanggup membendung air matanya. Ia dapat merasakan kesedihan lelaki di hadapannya. “Maafkan saya,” ucap pangeran memecah keheningan. “Maukah engkau menggantikan posisi istriku. Mungkin aku dapat menebus dosa kepada istriku dengan menjaga engkau dengan baik.”

“Apakah Pangeran tidak ingin mengetahui terlebih dahulu siapa diri saya agar tak ada penyesalan di kemudian hari? Jangan-jangan saya lebih buruk dari hantu pakis,” jawab Putri Babi.

Hatta, Putri Babi pun menceritakan asal usulnya. Dia menceritakan juga saat melompat ke Pulau Pakis tanpa sepengetahuan pangeran. Mahfumlah pangeran bahwa wanita yang di hadapannya itu tidak lain tidak bukan adalah istrinya sendiri, Putri Babi, anak Mujang dan Minah.

“Makanya kanda selalu melarang Adinda mandi di pulau-pulau itu. Kita sudah dinasihati oleh bunda. Sekarang percayalah, apakah yang dikatakan ibunda itu sesungguhnya untuk kebaikan kita jua. Tak mungkin seorang ibu memberikan nasihat yang buruk kepada anaknya,” ujar pangeran kemudian sembari meremas jemari Putri Babi yang mulai terisak mengakhiri ceritanya.

“Ya suamiku. Sekarang aku sadar, nasihat bunda memang sangat berarti,” kata Putri Babi.

Akhir cerita, mereka pun menikah kembali dan hidup menjadi suami istri yang berbahagia. Mereka tinggal di rumah Mande Rubiah, tetapi sesekali tidak lupa menjenguk kerajaan dan orangtua si Putri Babi di pulau seberang.

Ditulis ulang oleh Herman RN dari lisan Halimah (80-an), warga Ujung Pasir, Kecamatan Kluet Selatan, Aceh Selatan. Cerita ini memperoleh juara III lomba menulis Cerita Rakyat tingkat Nasional tahun 2008 oleh Pusat Bahasa RI.

Kosa kata:

1. laka (bahasa Jamee) :Tempat periuk atau kuali setelah diangkat dari tungku. Bentuknya cekung menyerupai pantat kuali. Biasanya dianyam dari kulit pelepah rumbia. Dipercaya, laka disenangi hantu pakis.

2. pagu (bahasa Jamee) : Bagian rumah lantai dua, loteng.

Bahasa Jamee adalah salah satu bahasa daerah di Aceh, tepatnya berada di Aceh Selatan. Bahasa ini menyerupai bahasa Minang (Padang).

No comments:

Post a Comment